Salam hangat

Selamat Datang di Hamdi Taufik. Blog ini merupakan media komunikasi untuk mencari titik taut di antara kebhinekaan yang ada. Dengan pikiran yang jernih lah perbedaan dapat diterima.

Jumat, 06 Juni 2008

Tinjauan Hukum Islam terhadap Jual Beli dan Penetapan Harga

TINJAUAN HUKUM ISLAM TENTANG JUAL BELI DAN
PENETAPAN HARGA

A. Pengertian Dan Landasan Syar'I Jual Beli
Menurut etimologi (bahasa), jual-beli diartikan: "pertukaran sesuatu dengan sesuatu yang lain". Kata lain dari jual beli (al-ba’i) adalah asy-syira’, atau at-tijarah.[1] Kata at-tijarah seperti yang di singgung dalam al-Qur’an surat Fatir ayat 29 yang berbunyi
وأنفَقوا مما رزقناهم سرا وعلانيةً يرجون تجارة لن تبور [2]

Jual beli juga memiliki arti: menjual, mengganti dan menukar (sesuatu dengan sesuatu yang lain). Kata al-bai' dalam bahasa Arab terkadang digunakan untuk pengertian lawannya, yaitu kata: asy-syira' (beli). Dengan demikian kata al-bai' berarti kata "jual" dan sekaligus juga berarti kata "beli".[3]
Adapun pengertian jual-beli menurut terminologi (istilah), para ulama berbeda pendapat mendefinisikannya seperti yang di kutip oleh Ghufron A. Mas’adi , antara lain[4]:


1. Menurut ulama Hanafiyah:
مبا د لة مال بمال على وجه مخصوص او هو مبادلة شي مرغوب فيه بمثله على وجه مفيد مخصوص اي باء يجا ب او تعا ط [5]
2. Menurut Imam Nawawi dalam Al-Majmu:
البيع : مباد لة مال تمليكا [6]
3. Menurut Ibnu Qudamah dalam kitab Al-Mugni:
مبادلة مال بمال تمليكا وتمليكا[7]
4. Sedangkan menurut as-Sayyid Sabiq mendefinisikan jual beli: "saling menukar harta dengan harta atas dasar suka sama suka"
Dari beberapa pengertian yang disampaikan oleh para ulama di atas, maka yang dimaksud jual-beli pada dasarnya adalah usaha mempertukarkan harta dengan harta melalui tata cara tertentu, dengan tujuan pemilikan dan penyerahan milik. Dengan demikian yang dimaksud jual beli pada skripsi ini adalah usaha menjual foto kepada pembeli yang secara sadar dilakukan atas dasar suka-sama suka (kerelaan) dengan tujuan saling menguntungkan, baik dipihak penjual (fotografer) maupun pihak pembeli (konsumen).
Jual-beli dalam Islam diatur dalam kerangka yang rapi dengan mengedepankan kemaslahatan umat. Kegiatan jual-beli disyariatkan berdasarkan landasan al-Qur'an dan Sunnah. Misalnya firman Allah yang berbunyi:
وأحل اللَّه البيع وحرم الربا [8]
فَليس عليكم جناح أَلا تكتبوها وأَشْدوا إِذا تبايعتم [9]
Rasulullah SAW pernah ditanya oleh seorang sahabat,
اي الكسب اطيب؟ عمل الرجل بيده وكل بيع مبرور [10]
Dalam hal ini yang dimaksud dengan mabrur adalah jual beli yang terhindar dari usaha tipu daya dan merugikan orang lain, yakni jual beli yang saling meridai.
Berkaitan dengan jual-beli, dalam Al-Qur'an Allah SWT berfirman sebagaimana berikut:
ليس عليكم جناح أن تبتغوا فَضلا من ربِكم [11]
يا أيها الذين آمنوا لا تأكلوا أموالكم بينكم بِالباطلِ إِلا أن تكون تجارة عن تَراض منكم [12]
Sedangkan dasar hukum jual-beli menurut hadis nabi didasarkan atas alasan suka sama suka yang dilakukan secara jujur dan saling mempercayai. Hal ini sesuai bunyi hadis:
انما البيع عن تراض [13]
التاجر الصدوق الا مين مع النبيين والصديقين والشهداء [14]
Dari kandungan ayat-ayat dan hadis-hadis yang telah dikemukan di atas sebagai dasar jual-beli, para ulama fiqh mengambil kesimpulan bahwa jual-beli diperbolehkan dengan alasan manusia tidak akan mampu mencukupi kebutuhan dirinya, tanpa bantuan orang lain. Namun demikian, bantuan atau barang milik orang lain yang dibutuhkannya itu, harus diganti dengan lainnya yang sesuai. Hal inilah yang mendasari bahwa pada dasarnya jual-beli menurut Islam hukumnya mubah (diperbolehkan).
B. Rukun Dan Syarat Jual-Beli
Dalam menetapkan rukun jual-beli, di antara para ulama terjadi perbedaan pendapat. Menurut ulama Hanafiyah, rukun jual-beli adalah ijab dan qabul yang menunjukkan pertukaran barang secara ridha, baik dengan ucapan maupun perbuatan. Adapun rukun jual-beli menurut jumhur ulama ada empat, yaitu:[15]
Ba’i (penjual)
Musytari (pembeli)
Sigat (ijab dan qabul)
Ma’qud ‘alaih (benda atau barang)
Sedangkan syarat jual-beli terdapat empat macam syarat, yaitu: syarat terjadinya akad (in’iqad), syarat sahnya akad, syarat terlaksananya akad (nafadz), dan syarat lujum. Secara umum, tujuan adanya semua syarat tersebut antara lain untuk menghindari pertentangan di antara manusia, menjaga kemaslahatan orang yang sedang akad, menghindari jual-beli garar (terdapat unsur penipuan), dan lain-lain.[16]
Mengenai rukun dan syarat jual-beli, para ulama memberikan argumentasi atau ketentuan bahwa jika jual-beli tidak memenuhi syarat terjadinya akad, akad tersebut batal. Jika tidak memenuhi syarat sah, menurut ulama Hanafiyah, akad tersebut fasid. Jika tidak memenuhi syarat nafaz, akad tersebut mauquf yang cenderung boleh, bahkan menurut ulama Malikiyah, cenderung kepada kebolehan. Jika tidak memenuhi syarat lujum, akad tersebut mukhayyir (pilih-pilih), baik khiyar untuk menetapkan maupun membatalkan.
Di antara ulama fiqh berbeda pendapat dalam menetapkan persyaratan jual-beli. Tentang persyaratan jual-beli tersebut, ulama hanafiyah berpendapat sebagai berikut:[17]
1. Syarat Terjadinya Akad (In’iqad)
Adalah syarat-syarat yang telah ditetapkan syara’. Jika persyaratan ini tidak terpenuhi, jual-beli batal. Tentang syarat ini, ulama Hanafiyah menetapkan empat syarat, yaitu berikut ini.
a. Syarat Aqid (orang yang akad). Aqid harus memenuhi persyaratan: berakal dan mumayiz, serta aqid harus berbilang, sehingga tidaklah sah akad dilakukan seorang diri. Minimal dilakukan dua orang, yaitu pihak yang menjual dan membeli.
b. Syarat dalam Akad. Syarat ini hanya satu, yaitu harus sesuai antara ijab dan qabul. Namun demikian dalam ijab dan qabul terdapat tiga syarat: Ahli akad[18], Qabul harus sesuai dengan ijab, Ijab dan qabul harus bersatu (berhubungan)
c. Tempat akad harus berhubungan antara ijab dan qabul.
d. Ma'qud 'alaih (obyek akad), yang memenuhi persyaratan seperti: obyeknya harus ada, dan bernilai, benda tersebut milik sendiri, dan dapat diserahkan.
Sedangkan Madzab Syafi’i mensyaratkan 22 syarat yang berkaitan dengan aqid, shigat, dan ma’qud ‘alaih. Persyaratan tersebut adalah:
1. Syarat Aqid terdiri dari: qewasa atau sadar, tidak dipaksa, Islam dan pembeli bukan musuh.
2. Syarat Shigat terdiri dari:
a. Berhadap-berhadapan
Pembeli atau penjual harus menunjukkan shigat akadnya kepada orang yang sedang bertransaksi dengannya, yakni harus sesuai dengan orang yang dituju. Dengan demikian, tidak sah berkata: “Saya menjual kepadamu!” Tidak boleh atau tidak sah berkata: “Saya menjual kepada Ahmad”, padahal nama pembeli bukan Ahmad.
b. Ditunjukan pada seluruh badan yang akad
Tidak sah mengatakan: “Saya menjual barang ini kepada kepala atau tangan kamu.”
c. Qabul diucapkan oleh orang yang dituju dalam ijab
Orang yang mengucapkan qabul haruslah orang yang diajak bertransaksi oleh orang yang mengucapkan ijab, kecuali jika diwakilkan.
d. Harus menyebutkan barang atau harga
e. Ketika mengucapkan shigat harus disertai niat (maksud)
f. Pengucapan ijab dan qabul harus sempurna
Jika seseorang yang sedang bertransaksi itu gila sebelum mengucapkan qabul, jual-beli yang dilakukan batal.
g. Ijab dan qabul tidak terpisah
Antara ijab dan qabul tidak boleh diselingi oleh waktu yang terlalu lama, yang menggambarkan adanya penolakan dari salah satu pihak.
h. Antara ijab dan qabul tidak terpisah dengan pernyataan lain
i. Tidak berubah lafaz
Lafadz ijab tidak boleh berubah, seperti perkataan: “Saya jual dengan lima ribu”, kemudian berkata lagi: “Saya menjualnya dengan sepuluh ribu”. Padahal barang yang dijual masih sama dengan barang yang pertama dan belum ada qabul.
j. Bersesuaian antara ijab dan qabul secara sempurna
k. Tidakdikaitkan dengan sesuatu
l. Tidak dikaitkan dengan waktu
3. Syarat Ma’qud ‘alaih
a. suci.
b. bermanfaat.
c. dapat diserahkan.
d. barang milik sendiri atau menjadi wakil orang lain.
e. jelas dan diketahui oleh kedua orang yang melakukan akad.
C. Ketentuan Barang Dan Harga Dalam Jual-Beli
Secara umum, mabi’ adalah barang jualan (perkara yang menjadi tentu dengan ditentukan). Sedangkan pengertian harga secara umum adalah perkara yang tidak tentu dengan ditentukan.[19]Definisi tersebut, sebenarnya sangat umum sebab sangat bergantung pada bentuk dan barang yang diperjualbelikan. Adakalanya mabi’ tidak memerlukan penentuan. Sebaliknya, harga memerlukan penetapan uang muka. Imam asy-Syafi’i dan Ja'far berpendapat bahwa harga dan mabi’ termasuk dua nama yang berbeda bentuknya, tetapi artinya satu. Perbedaan di antara keduanya dalam hukum adalah penggunaan huruf ba (dengan).
Penentuan mabi’ adalah penentuan barang yang akan dijual dari barang-barang lainnya yang tidak akan dijual, jika penentuan tersebut menolong atau menentukan akad, baik pada jual-beli yang barangnya ada di tempat akad atau tidak. Apabila mabi’ tidak ditentukan dalam akad, penentuannya dengan cara penyerahan mabi’tersebut.
Secara umum, persoalan mabi' dan harga dalam jual beli dapat dijelaskan sebagai berikut:
1. Perbedaan Mabi’ dan Harga
Kaidah umum tentang mabi’ dan harga adalah sesuatu yang dijadikan mabi’ adalah sah dijadikan harga, tetapi tidak semua harga dapat menjadi mabi’. Di antara perbedaan antara mabi’dan harga adalah:[20]
a. Secara umum uang adalah harga, sedangkan barang yang dijual adalah mabi’.
b. Jika tidak menggunakan uang, barang yang akan ditukarkan adalah mabi’ dan penukarnya adalah harga.
2. Ketetapan mabi’ dan Harga
a. Hukum-hukum yang berkaitan dengan mabi’dan harga antara lain:
b. Mabi’ disyaratkan haruslah harta yang bermanfaat, sedangkan harga tidak disyaratkan demikian.
c. Mabi’ disyaratkan ada dalam kepemilikan penjual, sedangkan harga tidak disyaratkan demikian.
d. Tidak boleh mendahulukan harga pada jual-beli pesanan,sebaliknya mabi’ harus didahulukan.
e. Orang yang bertanggung jawab atas harga adalah pembeli, sedangkan yang bertanggung jawab atas mabi’ adalah penjual.
f. Menurut ulama Hanafiyah, akad tanpa menyebutkan harga adalah fasid dan akad tanpa menyebutkan mabi’ adalah batal.
g. Mabi’ rusak sebelum penyerahan adalah batal, sedangkan bila harga rusak sebelum penyerahan tidak batal.
h. Tidak boleh tasharruf atas barang yang belum diterimanya, tetapi dibolehkan bagi penjual untuk tasharruf sebelum menerimanya.
3. Hukum atas Mabi’ dan Harga Rusak serta Harga yang Tidak Laku
Tentang hukum barang yang rusak, baik seluruhnya, sebagian, sebelum akad, dan setelah akad, terdapat beberapa ketentuan, yaitu:
a. mabi’ rusak dengan sendirinya atau rusak oleh penjual, jual-beli batal.
b. mabi’ rusak oleh pembeli, akad tidak batal, dan pembeli harus membayar.
c. mabi’ rusak oleh orang lain, jual-beli tidaklh batal, tetapi pembeli harus khiyar antara membeli dan membatalkan.
d. mabi’ rusak dengan sendirinya atau rusak oleh penjual, pembeli, atau orang lain, jual-beli tidaklah batal sebab barang telah dikeluarkan dan tanggungan penjual. Akan tetapi, jika yang merusak orang lain, tanggung jawabnya diserahkan kepada perusaknya.
e. Jika mabi’ rusak oleh penjual, ada dua sikap: pertama, jika pembeli telah memegangnya, baik dengan seizin penjual atau tidak, tetapi telah membayar harga, penjual bertanggung jawab. Dn kedua, jika penjual tidak mengizinkan untuk memegangnya dan harga belum diserahkan, akad batal.
Ulama Malikiyah berpendapat bahwa segala kerusakan atas tanggungan pembeli, kecuali dalam lima keadaan:[21]
a. Jual-beli yang tidak tampak.
b. Barang yang dibeli disertai khiyar.
c. Buah-buahan yang dibeli sebelum sempurna.
d. Barang yang ada di dalamnya berhubungan dengan ukuran.
e. Jual-beli rusak.
Dalam memberikan pengertian mengenai keusakan barang atau harga, para ulama berbeda pendapat. Ulama Syafi’iyah berpendapat bahwa setiap barang merupakan tanggungan penjual sampai barang tersebut dipegang pembeli. Sedangkan Ulama Hanabilah berpendapat bahwa jika barang tersebut merupakan sesuatu yang diukur atau ditimbang, apabila rusak, masih termasuk harta penjual, sedangkan barang-barang selain itu yang tidak mesti dipegang, sudah termasuk barang pembeli.
Ulama Hanafiyah berpendapat, jika uang tidak berlaku sebelum diserahkan kepada penjual, akad pembatal. Pembeli harus mengembalikan barang kepada penjual atau mengganti jika rusak. Adapun menurut Abu Yusuf dan Muhammad (dua orang sahabat Imam Hanafi), akad tidak batal, tetapi penjual berhak khiyar, baik dengan membatalkan jual-beli atau mengambil sesuatu yang sesuai dengan nilai uang yang tidak berlaku tersebut.[22]
4. Penyerahan Mabi’ dan Harga
Penyerahan harga dari pembeli dan mabi’ (barang) dari penjualan harus dilakukan oleh penjual dan pembeli. Dengan kata lain hal itu merupakan kewajiban kedua belah pihak yang melakukan akad.
5. Hak Menahan Mabi’
Telah disinggung bahwa pembeli diharuskan terlebih dahulu menyerahkan harga. Hal itu menunjukkan bahwa ia memiliki hak untuk mengekang barang sehingga ia membayar harganya, baik sebagian maupun seluruhnya. Syarat dibolehkannya mengekang mabi’ ada dua: yaitu Salah satu pengganti dari jual-beli harus berupa utang (seperti uang, dinar, dan lain-lain). Dan Harga yang ditetapkan harus dibayar waktu itu, jika disepakati ada penangguhan, gugurlah hak mengekang.
6. Penyerahan dan Cara Meyakinkan
Penyerahan atau pemegangan menurut ulama Hanafiyah adalah penyerahan atau pembebasan antara mabi’ dan pembeli sehingga tidak ada lagi penghalang di antara keduanya. Pembeli dibolehkan tasharruf atas barang yang tadinya milik penjual. Pemegangan dapat dilakukan dengan beberapa cara, antara lain:
a. Penyerahan atau pembebasan
b. Pembeli merusak barang yang ada di tangan penjual
c. Penitipan barang kepada pembeli atau meminjamkannya
d. Pemetikan, yakni pembeli memetik buah pedagang.

D. Konsep Pengambilan Keuntungan
Keuntungan diambil dari kata untung yang mendapatkan awalan-ke dan akhiran-an yang artinya adalah hasil dari suatu transaksi atau penjualan barang atau kelebihan dari suatu transaksi[23] Mengenai landasan bahwa setiap orang diperbolehkan mendapatkan keuntungan dari jual-beli sebagaimana firman Allah berikut ini:
بقية اللَّه خير لكم إِن كنتم مؤمنين وما أنا عليكم بِحفيظ [24]
Dalam firman yang lain, Allah SWT tidak melarang bagi hambanya untuk mendapatkan keuntungan dari pekerjaan yang diusahakannya. Hal ini sesuai dengan firmanNya dalam yang berbunyi:
ليس علَيكم جناح أَن تبتغوا فَضلا من ربِكم [25]
Namun ada batasan-batasan yang harus diperhatikan sesuai dengan syari'at Islam. Dengan demikian, para pelaku muamalah, harus memikirkan matang-matang, serta mengajak hati nurani merenung, apakah cara memperoleh harta itu sudah sesuai dengan tuntunan agma Isla, atau belum,. Kemudian, sesudah diperoleh masih ada satu tugas dan bertanya, apakah sudah tepat pemanfaatan (penyaluran) harta yang merupakan karunia Allah.
Untuk mendapatkan dan memenfaatkan harta, biasanya manusia mendapat godaan yang luar biasa dari setan (nafsu), supaya melakukan penyimpangan–penyimpangan yang merusak tatanan mumalah yang telah diatur sedemikian rupa dalam Islam. Sebagai contoh dalam dunia dagang dan usaha, semua orang ingin mendapatkan keuntungan sebanyak mungkin. Tetapi adakalanya, orang yang berdagang dan berusaha itu tidak mengenal batas halal dan haram.[26]
Selain itu, dalam Islam seluruh kegiatan ekonomi tidak hanya mencari keuntungan material, tetapi juga keuntungan transendental. Keuntungan material merujuk pada keuntungan yang hanya bisa dinikmati di dunia. Misalnya bertambahnya modal, memperluas pelanggan, meningkatkan jumlah penjualan dan produksi dan lainnya. Sedangkan keuntungan transendental adalah keuntungan yang ingin di dapat dari Allah SWT, misalnya pahala dan surga.
Pada dasarnya pemberian harga dalam Islam harus adil. Dengan kata lain bukan hanya mendapatkan keuntungan semata, tetapi harus berdasarkan untuk menolong. Selain itu ketika memperhatikan pesaing bukan bertujuan untuk memonopoli, tetapi terjadi persaingan yang sehat. Kemudian dalam melakukan perniagaan, Islam mengharuskan untuk berbuat adil tanpa memandang bulu, termasuk kepada pihak yang tidak disukai. Karena orang yang adil akan lebih dekat dengan takwa. “Hai orang-orang beriman, hendaklah kamu jadi orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap suatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah karena adil itu lebih dekat dengan taqwa.
يا أيها الذين آمنوا كونوا قَوامين للَّه شهداء بِالقسط ولا يجرِمنكم شنآنُ قَوم على ألا تعدلوا اعدلوا هو أقرب للتَقوى [27]
Bahkan Islam mengharuskan untuk berlaku adil dan berbuat kebajikan dimana berlaku adil harus didahulukan dari berbuat kebajikan. Dalam perniagaan, persyaratan adil yang paling mendasar adalah dalam menentukan mutu dan ukuran (takaran maupun timbangan).
وأوفوا الكيل والميزان بِا لقسط
Berlaku adil akan dekat dengan takwa, karena itu berlaku tidak adil akan membuat seseorang tertipu pada kehidupan dunia. Karena itu dalam perniagaan, Islam melarang untuk menipu –bahkan ‘sekedar’ membawa suatu kondisi yang dapat menimbulkan keraguan yang dapat menyesatkan atau gharar.
Namun kebijakan harga juga dipengaruhi oleh mekanisme pasar, gangguan pada mekanisme pasar dapat berupa gangguan dalam penawaran, misalnya akibat adanya penimbunan (ikhtikar) atau akibat penyalahgunaan posisi penawaran –misalnya dalam kondisi monopoli. Atau dapat berupa gangguan dalam permintaan, misalnya dengan menciptakan permintaan palsu (najasy) seolah-olah adanya peningkatan permintaan sehingga mendorong kenaikan harga.
E. KONSEP BIAYA PRODUKSI DAN PENJUALAN
Biaya produksi yakni biaya-biaya yang berhubungan langsung dengan produksi dari suatu produk dan akan dipertemukan (dimatchkan) dengan penghasilan (revenue) di periode mana produk itu dijual. Sebelum laku dijual, biaya produksi diperlakukan sebagai persediaan (inventories). Biaya ini terdiri dari biaya bahan baku, biaya tenaga kerja langsung, dan biaya overhead perusahaan. Overhead perusahaan antara lain:[28]
1. Gaji karyawan
2. Biaya operasional administrasi
3. Biaya pemelihraan asset.
Metode Pemberian Harga (Pricing methods). Harga produk merupakan wajah (expresion) usaha dan gambaran (reflection) nilai produk. Menentukan harga produk merupakan salah satu keputusan yang paling sulit dalam usaha, harus ada prosedur yang benar untuk menjual produl di pasar komoditi ketika menentukan harga. Pengusaha harus mengetahui biaya produksi dan operasi untuk mengembangkan usaha dalam jangka panjang. Oleh karena itu, adalah penting untuk mengetahui biaya produksi per unit. Selain itu, itu harus mempertimbangkan para pesaing dan wilayah para pembeli. Cara terbaik untuk menentukan strategi pemberian harga harus melalui pengujian para pesaing dan mempertimbangkan perbedaan produk yang dimiliki. Selain itu harus selalu memonitor harga yang dimiliki dan harga para pesaing untuk membantu pemberian harga yang menguntungkan.
[1] Rachmat Syafi'I, Fiqih Muamalah (Bandung: Pustaka Setia, 2001), hlm.73

[2] Faatir (35) : 29

[3] M. Ali Hasan, Berbagai macam Transaksi dalam Islam (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2004), hlm. 113

[4] Ghufron A. Mas'adi, Fiqih Muamalah Kontekstual (Bandung: Pustaka Setia, 2002), hlm.119-120
[5] Ibid. hlm. 119

[6] Rahmat Syafi’I, Fiqih Muamalah, hlm. 74

[7] Ibid. hlm. 74
[8] Al-Baqarah (2) : 275

[9] Al-Baqarah (2) : 282

[10] Abu Dawud, Sunan Abi Dawud, ( Beirut, Dar al Fikr,t.t), III: 120. Hadis diriwayatkan dari Bazari dan disahihkan oleh al-Hakim.

[11] Al-Baqarah (2) : 198

[12] An-Nisa (4) : 29
[13] Abu Dawud, Sunan Abi Dawud,hlm. 121

[14] Ibid. Hlm. 119

[15] Dr. Rachmat Syafi'I, M.A., Fiqih Muamalah, hlm.75-76

[16] Ibid. hlm.76

[17] Ibid. hlm.76-77
[18] Menurut ulama Hanafiyah, seorang anak yang berakal dan mumayyiz (berumur tujuh tahun, tetapi belum baligh) dapat menjadi ahli akad. Ulama Malikiyah dan Hanabilah berpendapat bahwa akad anak mumayyiz bergantung pada izin walinya.

[19] Rachmat Syafi'I, M.A., Fiqih Muamalah, hlm. 86

[20] Ibid. hlm. 87-91
[21] Ibid. hlm.89

[22] Ibid. hlm.90
[23] W.J.S. Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia , ( Jakarta : Balai Pustaka,1976), hlm.547.

[24] Hud (11) : 86

[25] Al-Baqarah (2) : 198

[26] M.ali Hasan, Berbagai Macam Transaksi dalam Islam (Fiqh Muamalah), ( Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2004), hlm. XIX.
[27] Al-Maidah (5) : 8
[28] Ibid, hlm.5.

Tidak ada komentar: