Salam hangat

Selamat Datang di Hamdi Taufik. Blog ini merupakan media komunikasi untuk mencari titik taut di antara kebhinekaan yang ada. Dengan pikiran yang jernih lah perbedaan dapat diterima.

Minggu, 13 Juli 2008

Mendayunglah

Mendayunglah duhai nelayan
Tuang keringat perjuangan
Tiupan udara, badai, gelombang
Jadikan teman sepermainan
Pasti kan mengembang di wajahmu
Lusuh permaisuri
Kusut masai pangeran-pangeranmu
Dalam penantian dan seribu do'a yang tersandung di kaki langit
Mereka mananti hadirmu
Jangan harap lagi mesin
Karena recehmu tak kuasa menjangkau bensin
Saya, kita, kami,
Dan entah apalagi sebutannya
Telah gagal memperjuangkan
Segala ikhtiar, dari turun di jalan, bakar ban, bertarung dengan mereka-mereka yang memakai seragam
Diskusi orang-orang pintar
Dialog panjang yang menghabiskan uang
Sampai angketpun diputuskan
Tak mampu patahkan layar kebijakan
ataa..u jangan-jangan
Semua kerja berat hanya sentimen kepentingan kepartaian
Entahlah...!
Aku hanya abdi yang bisa mengangguk
Bila tuan menuding pakai telunjuk

Rabu, 09 Juli 2008

PENGARUH HUKUM ISLAM TERHADAP PERKEMBANGAN


Pendahuluan
Bahasa sebagai alat komunikasi, ada sejak manusia mampu berbicara dengan sesamanya. Walaupun usia bahasa sudah sedemikian tua, namun sampai saat ini belum ada satu catatan yang membahas sejak kapan sebenarnya bahasa mulai berkembang menjadi banyak seperti yang kita kenal sekarang ini.
Pada kehidupan nyata, di dalam maupun di luar konteks formalitas hukum, setiap orang akan berinteraksi dengan tanda-tanda bahasa dan isyarat-isyarat simbolik mereka sendiri. Sebagai akibat dari adanya saling berinteraksi tersebut, maka semua anggota masyarakat mengetahui dan menyadari bahwa bahasa memang sangat penting sebagai alat untuk berinteraksi maupun untuk saling berkomunikasi, baik itu bahasa tulis, bahasa lisan maupun berupa isyarat-isyarat atau simbol-simbol.
Sehingga bahasa adalah merupakan alat bagi manusia untuk mengungkapkan perasaan, menyampaikan maksud hati dan buah pikiran kepada sesamanya dan juga merupakan salah satu sarana komunikasi agar manusia dapat menerima dan menyampaikan kehendaknya dengan sebaik-baiknya.
Pada hakekatnya bahasa mempunyai dua fungsi utama, pertama bahasa berfungsi sebagai sarana komunikasi antar manusia, kedua bahasa berfungsi sebagai sarana budaya yang mempersatukan kelompok manusia yang mempergunakan bahasa tersebut.
Sebagai sarana komunikasi bahasa mengandung tiga unsur pokok:
1. sebagai alat komunikasi untuk menyampaikan pesan;
2. sebagai sarana komunikasi untuk mengekspresikan sikap;
3. sebagai alat komunikasi untuk berpikir.
Manusia dapat berpikir dengan baik karena dia mempunyai bahasa sebagai alat komunikasi verbal yang dipakai dalam kegiatan berpikir, agar pikiran-pikirannya tersebut dapat disampaikan pada orang lain.[1]
Bahasa yang dipelajari dan dipahami dalam dunia ilmu pengetahuan adalah bahasa ilmiah atau bahasa keilmuan. Bahasa ilmiah mempunyai ciri-ciri dan sifat-sifat sebagaimana dikemukakan Anton M. Moeliono:
a. Lugas dan eksak, karena menghindari kesamaran dan ketaksamaan;
b. Obyektif dan menekan prasangka pribadi;
c. Memberikan definisi yang cermat tentang nama, sifat dan kategori yang diselidikinya untuk menghindari kesimpang-siuran;
d. Tidak beremosi dan menjauhi tafsiran yang bersensasi;
e. Cenderung membakukan makna kata-katanya, ungkapan dan gaya paparannya berdasarkan konvensi;
f. Tidak dogmatis atau fanatik;
g. Bercorak hemat, hanya kata yang diperlukan yang dipakai;
h. Bentuk, makna dan fungsinya lebih mantap dan stabil dari pada yang dimiliki kata biasa.[2]
Dalam lingkungan tertentu bahasa mempunyai sifat khusus dan terbatas, maksudnya di samping harus memperhatikan kaidah-kaidah bahasa yang bersifat umum dan benar, yaitu kaidah bahasa Indonesia, juga harus memperhatikan aturan-aturan yang bersifat khusus yang sesuai dengan lingkungannya, seperti di lingkungan profesi, misalnya profesi kesehatan, teknik, sastra, hukum dan lain-lain, yang masing-masing itu mempunyai bahasa khusus walaupun semuanya menggunakan Bahasa Indonesia
Salah satu lingkungan yang menggunakan bahasa tersendiri adalah dalam lingkungan hukum, yaitu dengan bahasa hukum Indonesia yang mempunyai karakteristik tersendiri.
Karakteristik bahasa hukum Indonesia terletak pada istilah-istilah, komposisi serta gaya bahasanya yang khusus dan kandungan artinya yang khusus.
Salah satu karakteristik bahasa hukum adalah tidak netral, artinya ada pembiasan dan memihak pada golongan tertentu atau tidak diperlakukan secara umum, jadi selalu bersifat otonom. Ketidak-netralan bahasa hukum karena membawa muatan nilai tertentu dan bersifat subyektif, artinya orang yang membuatnya berusaha menangkap makna melalui interpretasi subyektifnya. Ketidak-netralan bahasa hukum ini juga terkait dengan adanya perubahan-perubahan situasi, kondisi maupun tempat di mana bahasa hukum itu digunakan.
Mengingat bahasa hukum itu mempunyai karakteristik tersendiri, maka bahasa hukum Indonesia harus memenuhi syarat-syarat dan kaidah-kaidah bahasa Indonesia. Bahasa hukum yang kita pelajari merupakan bahasa keilmuan hukum. bahasa keilmuan hukum atau jelasnya bahasa keilmuan tentang hukum, adalah bahasa hukum teoritis, yaitu bahasa hukum yang bersifat ilmiah yang digunakan dalam mempelajari hukum sebagai ilmu pengetahuan.[3]
Secara garis besar dasar-dasar pokok dari bahasa hukum dapat dibagi menjadi tiga kelompok, yaitu;
1. Bahasa hukum yang bersumber pada aturan-aturan hukum yang dibuat oleh negara;
2. Bahasa hukum yang bersumber pada hukum yang berlaku di tengah-tengah masyarakat, bahasa hukum seperti ini kita temui dalam hukum adat yang berlaku dan tidak bertentangan dengan hukum negara;
3. Bahasa hukum yang bersumber dari para ahli hukum, kelompok-kelompok profesi hukum.[4]
Sehingga bahasa dan hukum itu mempunyai hubungan yang erat, karena hukum merupakan salah satu sarana untuk menciptakan ketertiban, maka harus dirumuskan, terutama melalui bahasa, meskipun ada simbol-simbol lain yang cukup penting untuk menetapkan hukum. Karenanya bahasa hukum merupakan bahasa aturan / peraturan yang bertujuan untuk mewujudkan ketertiban dan keadilan, serta untuk mempertahankan kepentingan umum dan kepentingan pribadi di dalam masyarakat.
Oleh karena itu maka bahasa hukum mempunyai peran sebagai instrumen atau sarana untuk mengatur tingkah laku manusia (sebagai das sein), dan bahasa hukum dalam ketentuan tertulis atau perundang-undangan sebagai hukum yang seharusnya berlaku (das sollen).
Dengan berkembangnya masyarakat yang semakin maju, maka diikuti pula dengan berkembangnya bahasa dan istilah-istilah yang semakin pesat pula. Hal ini dialami oleh perkembangan bahasa Indonesia yang sekarang telah menjadi bahasa modern, yang semula berasal dari bahasa melayu, kemudian mengalami perkembangan yang begitu pesat, sehingga pengaruh bahasa asing pun mewarnai perubahan tersebut. Begitu besarnya pengaruh bahasa asing terhadap bahasa Indonesia, sehingga tidak sedikit bahasa asing yang di-Indonesia-kan atau pembentukan bahasa / istilah baru telah mewarnai perbendaharaan bahasa dan istilah-istilah di dalam bahasa Indonesia dan di dalam pergaulan masyarakat di dunia ilmu pengetahuan.
Hal ini terbukti banyaknya produk-produk hukum yang masih banyak ditulis dengan berbagai komposisi dan gaya-gaya yang tidak selalu mengacu pada kaidah-kaidah umum bahasa Indonesia. Demikian juga dengan penggunaan istilah-istilah hukum yang tidak mempunyai bentuk yang baku.
Sementara itu dalam hal peristilahan, penggunaan bahasa hukum masih bersifat tidak tetap dan lebih banyak mengadopsi kata-kata atau istilah-istilah yang berasal dari bahasa asing.
Sebenarnya masuknya istilah-istilah asing ke dalam bahasa Indonesia sudah berlaku sejak lama, yaitu sejak masuknya agama Hindu dan agama Islam ke Indonesia, serta masuknya bangsa Eropa, terutama bangsa Belanda ketika menjajah Indonesia.
Selanjutnya dalam tulisan ini akan memfokuskan pada istilah-istilah baru, karena adanya pengaruh yang dirasakan berperan dalam penjelmaan konsep dan pengertian baru di bidang hukum, yaitu pengaruh agama Islam dan kebudayaan Islam yang kemudian menjadi pola sistem hukum Islam.



Pembahasan
Dalam beberapa kasus berkenaan dengan bahasa hukum di Indonesia, terdapat kesenjangan antara harapan dan fakta tentang penggunaan, peristilahan, struktur bahasa, pola pikir, maksud atau tujuan bahasa hukum dalam masyarakat, yaitu:
Pertama, pada beberapa fakta, terutama pada bentuk peraturan perundang-undangan di Indonesia dijumpai adanya berbagai istilah yang diambil dari bahasa asing seperti bahasa Latin, bahasa Belanda maupun bahasa Inggris, maupun dalam hukum adat dan agama Islam, seperti misalnya istilah-istilah bahasa hukum dari bahasa Arab seperti hak, adil, musyawarah, hakim, dan sah. Penggunaan bahasa Latin seperti adagium: ne bis in idem, de facto, de jure, res judicata, mens rea, prima facie, penggunaan bahasa latin ke dalam bahasa hukum Indonesia dilatar-belakangi atau merupakan historis kebahasaan, terutama dalam konteks sejarah bahasa hukum yang menjiwai dan mempengaruhi budaya hukum di dunia. Contoh istilah bahasa Inggris yang seringkali digunakan dalam bahasa hukum adalah rehabilitasi, hak privasi, diskriminasi gender. Apalagi penggunaan istilah bahasa Belanda ke dalam bahasa hukum di Indonesia sangat dominan seperti verzet, verstek, wanprestasi, obscuur libel dan sebagainya. Keseluruhan penggunaan istilah bahasa asing tersebut dalam bahasa hukum di Indonesia hingga kini masih terus digunakan dan populer, terutama dalam bahasa hukum perundang-undangan.
Kedua, bentuk kesenjangan kebahasaan adalah dalam pola atau susunan kalimat yang menggunakan pola atau struktur bahasa asing (baik Belanda maupun Inggris). Kendati dalam susunan kalimat tetap menggunakan bahasa Indonesia, namun pola kebahasaannya masih menunjukkan adanya ketergantungan dalam pola atau tata bahasa asing.
Ketiga, terdapat perbedaan mendasar dalam sistem atau metode obyek kajian dan penggunaan bahasa hukum di Indonesia yang bersifat deduktif. Pemaknaan suatu bahasa hukum ini adalah pengambilan kesimpulan yang bersifat umum, lalu baru ditarik suatu kesimpulan yang bersifat khusus. Sementara itu, metode epistemologi bahasa asing lebih pada pola induktif, yaitu suatu penarikan kesimpulan mulai dari hal-hal yang bersifat spesifik ke hal-hal yang berifat umum.
Keempat, pola pikir atau spirit para aparat hukum (yuris, ahli hukum maupun pemerhati) dalam merefleksikan ide, gagasan, pikiran, maksud dan tujuan dalam bahasa hukum sangat dipengaruhi oleh pola pikir bahasa asing, tergantung dari latar belakang para pihak tersebut belajar atau bekerja (berkecimpung).
Keseluruhan kesenjangan tersebut (istilah, struktur bahasa, pola pikir maupun metode) menjadi suatu daerah abu-abu (grey area) yang seringkali menimbulkan konflik atau permasalahan, terutama dalam aplikasi bahasa hukum di Indonesia untuk mencapai maksud atau tujuan dikeluarkannya kebijakan atau ketentuan perundang-undangan di masyarakat. Antara harapan dan kenyataan, yaitu das sollen dan das sein seringkali pada posisi di persimpangan. Hal ini disebabkan antara lain ketidakmandirian para pihak dalam mensinergikan antara harapan dan kenyataan dalam masyarakat. Area abu-abu memang tidak dapat dihilangkan sama sekali, karena adanya sifat dasar atau karakteristik bahasa hukum itu sendiri. Kendati demikian, area abu-abu tersebut paling tidak dapat dipengaruhi menjadi suatu area yang mendekati harapan masyarakat.
Pengaruh Bahasa hukum Belanda
Pengaruh bahasa Belanda tidak saja nampak pada bahasa Indonesia, tetapi dalam bidang hukum pun sangat dipengaruhi oleh bahasa Belanda. Hal ini dikarenakan bangsa Belanda pernah menjajah Indonesia selama tiga setengah abad, sehingga pada waktu itu bahasa hukum yang dipakai adalah bahasa hukum Belanda / hukum yang dibawa oleh penjajah. Oleh karena itu, hingga sekarang pun hukum yang dipakai masih hukum peninggalan Belanda yang diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia.
Hukum Indonesia mulai mengenal bahasa hukum tertulis sekitar tahun 1847, saat kali pertama diberlakukannya Burgerlijk wet boek / BW (Kitab Undang-Undang Hukum Perdata).
Apabila dicermati, masih banyak istilah-istilah dari bahasa Belanda yang dipakai dalam putusan-putusan pengadilan, walau ada pula yang sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia. Akan tetapi bahasa yang diterjemahkan itu masih banyak yang belum terpola, sehingga tidak mencerminkan kepaduan pikiran.
Contohnya, bahasa hukum yang berbunyi “putusan in absentia”, ada yang menterjemahkan:
§ “putusan tanpa hadirnya terdakwa”, ada lagi yang menterjemahkan
§ “putusan di luar hadirnya terdakwa”.
Contoh lain misalnya kata “eksepsi” yang berasal dari kata “exeptio”, mempunyai pengertian sebagai berikut:
§ “Sanggahan”, terhadap suatu dakwaan
§ “Menyangkal”, atau “sangkalan” terhadap suatu dakwaan
§ “Tangkisan”
Menurut Prof. Dr. B. Arief Sidharta, SH., mulai dari kentalnya pengaruh sistem hukum Belanda, penyisipan istilah asing, proses terbentuknya sebuah aturan hukum, hingga pemakaian kalimat yang membuka taburan peluang untuk menafsirkannya.[5]
Sehingga tersirat adanya kegagalan dalam penggunaan bahasa di dalam aturan-aturan hukum yang berlaku di Indonesia, untuk memberikan kejelasan dan kepastian makna tunggal.
Hal ini disebabkan dalam bahasa hukum selalu diselipkan istilah asing, yang akibatnya tidak semua orang bisa memahami dengan mudah serta mengerti makna dari suatu produk hukum. Padahal hukum merupakan salah satu pilar negara yang memerankan fungsinya sebagai pengatur yang sah.
Oleh karenanya perlu adanya penyertaan argumentasi yang kuat dalam setiap interpretasi, agar di dalam menginterpretasikan suatu peraturan atau suatu pasal (bahkan kata dalam pasal) tidak terjadi perbedaan pendapat antara beberapa orang.
Pengaruh bahasa hukum Inggris
Peminjaman istilah hukum dari bahasa Inggris mulai banyak dipakai dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia, juga para hakim, dalam putusannya sudah mulai banyak yang mengeluarkan dissenting opinion. Kemudian para ahli hukum Indonesia juga lebih akrab dengan konsep dari suatu sistem hukum Inggris dan Amerika, sebagai contoh misalnya, padanan kata obligor-obligee, lessor-lessee, telah mempengaruhi ahli hukum Indonesia dalam penciptaan istilah-istilah baru.
Berbagai perundang-undangan di Indonesia banyak pula dipengaruhi oleh istilah-istilah hukum Inggris maupun Amerika, misalnya dalam undang-undang tentang arbitrase, dijumpai konsep “alternatif dispute resolution” menjadi “alternatif penyelesaian sengketa”. Dalam peraturan perundang-undangan Hak Atas Kekayaan Intelektual (HAKI) terdapat banyak konsep hukum baru, yaitu seperti istilah desain industri, desain tata letak sirkuit terpadu, pendesain, dan sebagainya.
Pengaruh hukum Islam
Pengaruh agama Islam terhadap kehidupan dan kebudayaan Indonesia dimulai sejak tahun 1100. Pengaruh tersebut sangat terasa dalam bahasa Indonesia pada umumnya dan di dalam bahasa hukum pada khususnya. Hal tersebut terlihat adanya beberapa konsep dasar yang berasal dari agama Islam, seperti misalnya, adil, hak, musyawarah, hakim, sah, sumpah dan sebagainya. Istilah-istilah tersebut merupakan inovasi dalam hukum Indonesia dan dianggap bersumber dari agama Islam dan kebudayaan Islam.
Hukum Islam telah lama mewarnai kehidupan masyarakat Indonesia, jauh sebelum Indonesia merdeka yakni pada zaman penjajahan Belanda, para ahli hukum mengatakan bahwa kebudayaan yang berlaku di Indonesia adalah hukum islam yang menjadi dasar, bahkan ahli belanda Prof. Mr. Lodewijk Willem Cristiaan Van Den Berg (1845-1927) menulis asas-asas hukum Islam (Mohammedaansch Recht) menurut ajaran Hanafi dan Syafi’i (1884), dan hukum keluarga dan hukum waris Islam di Jawa dan Madura walaupun dengan beberapa penyimpangan. Bahkan pemerintah Hindia Belanda mengeluarkan perundang-undangan tertulis, yakni Reglement 1855 dengan tegas mengatakan bahwa undang-undang Islam dengan istilah godsdientige wetten berlaku bagi orang Indonesia yang beragama Islam, selain itu diakui pula adanya hakim kepala adat dengan keputusan yang berdasar kepada ketentuan-ketentuan adat yakni hukum Islam.[6]
Setelah kemerdekaan Prof. Hazahirin mengungkpkan dalam satu forum menandaskan syarat-syarat kesatuan hukum yang diinginkan guna menciptakan hukum baru di Indonesia, Hazahirin mengedepankan peranan dan kedudukan hukum Islam dan hukum adat yang dapat dijadikan dasar tatanan hukum yang baru bagi Indonesia di masa depan, karena keduanya memiliki keistimewaan masing-masing, sebagai seorang ahli hukum Islam dan Adat, sudah sewajarnya bila mengedepankan keistimewaan hukum Islam dan adat guna dijadikan dasar tatanan hukum nasional yang baru. Tentang keistimewaan Hukum Islam adalah bahwa hukum agama bagi masyarakat Islam yang mayoritas di Indonesia dirasakan sebagai bagian dari perkara imannya yang mengandung pengharapan keberuntungan bagi kehidupan dunia dan akhirat.[7]
Seiring dengan proses demokratisasi, sejak awal periode yang dinamakan era reformasi, yaitu pada pertengahan tahun 1998, telah terjadi proses perubahan pola pemakaian bahasa dan pemilihan istilah. Banyak pula terjadi proses penampungan beberapa pranata hukum Islam yang masuk ke dalam produk hukum nasional Indonesia. Barangkali ini merupakan akibat tuntutan baru dari masyarakat yang mayoritas beragama Islam, agar pranata hukum Islam diterima dan diakui dalam hukum nasional sebagai bagian dari proses membangun suatu masyarakat yang adil dan makmur. Atau dapat pula diartikan sebagai pemenuhan agenda lama yang terpendam, karena tertutupnya sistem hukum selama periode pemerintahan sebelumnya, yang menarik, proses ini merupakan awal dari suatu proses kodifikasi ketentuan syariat Islam ke dalam produk hukum nasional di mana ketentuan tertentu yang sebelumnya merupakan kewajiban berdasarkan agama tetapi hanya merupakan saran berdasarkan hukum nasional, sekarang menjadi kewajiban berdasarkan hukum nasional juga.[8]
Munculnya perdebatan sejak tahun 1998 adalah terjadinya istilah-istilah baru dalam peraturan perundang-undangan yang bersumber atau karena pengaruh Islam dan kebudayaan Islam.
Untuk menyikapi tuntutan masyarakat agar sistem politik yang akan datang memberi ruang gerak lebih kepada anggota masyarakat dan lembaga masyarakat (yang di luar negeri sering disebut sebagai civil society), banyak orang tertarik untuk mengartikan konsep ini sebagai suatu masyarakat madani dengan mencari inspirasi pada masyarakat ideal sebagaimana diidamkan oleh agama Islam.[9]
Proses demikian ini merupakan proses politik hukum, di mana menurut Bellefroid, bahwa politik hukum adalah bagian dari ilmu hukum yang membahas perubahan hukum yang berlaku (ius constitutum) menjadi hukum yang seharusnya (ius constituendum) untuk memenuhi perubahan kehidupan dalam masyarakat.
Jadi politik hukum adalah bagian dari ilmu hukum yang menelaah perubahan ketentuan hukum yang berlaku, dengan memilih dan menentukan ketentuan hukum tentang tujuan beserta cara dan sarananya untuk mencapai tujuan tersebut dalam memenuhi perubahan kehidupan di dalam masyarakat.
Dari teori yang dikemukakan oleh Bellefroid tersebut, maka dalam tulisan ini akan melihat / meneliti istilah-istilah baru yang muncul, terjadi karena adanya perubahan di dalam masyarakat pada umumnya dan di bidang hukum pada khususnya.
Dengan adanya pengaruh agama Islam dalam kehidupan masyarakat Indonesia, maka berpengaruh pula dalam bidang hukum, terhadap akidah dan pengajaran Islam sebagai pedoman hidup. Bahkan tidak sedikit, di dalam era setelah reformasi banyak yang dituangkan dalam bentuk peraturan perundang-undangan.
Dalam peraturan tentang Hak Asasi Manusia ditemukan istilah permufakatan jahat yang membawa arti kata permufakatan. Begitu pula, dalam menampung konsep trustee dalam bidang pasar modal, perbankan, dan bidang pendidikan tinggi otonom, dipilih istilah wali amanat dan majelis wali amanat. Pengaturan di bidang Perbankan yang baru banyak dijumpai istilah-istilah yang kental dengan nuansa Islam, seperti perbankan syariah dan muamalat, yang sekarang mulai pula muncul asuransi syariah dan pegadaian syariah. Di samping itu masih banyak pranata-pranata lain yang sekarang sudah diatur ke dalam undang-undang, yaitu Undang-Undang tentang Ibadah Haji, Undang-Undang tentang Zakat, Undang-Undang tentang Wakaf, peraturan pemerintah tentang Wakaf.
Seiring dengan adanya proses demokratisasi tersebut, ada suatu perubahan yang mempengaruhi di segala aspek kehidupan masyarakat Indonesia, yang mencerminkan adanya perubahan sosial. Adanya perubahan sosial tersebut, berpengaruh pula pada perilaku kehidupan sosialnya, yang kemudian berdampak pada perubahan di bidang hukum, yaitu menghendaki adanya peraturan perundang-undangan yang sesuai dengan keinginan masyarakat, yang mencerminkan rasa keadilan dan kepastian hukum.
Hal ini tercermin dengan diundangkannya Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan.
Lahirnya Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 ini merupakan pengejawantahan dari kehendak rakyat, dalam rangka mewujudkan rasa keadilan dan kepastian hukum. Pokok materi yang tercakup dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tersebut antara lain, menghendaki kemudahan pelaksanaan prinsip syariah dalam kegiatan usaha bank, dengan dimungkinkannya bank umum untuk menjalankan kegiatan usahanya secara konvensional dan sekaligus dapat juga menjalankan pola pembiayaan dan kegiatan lain berdasarkan prinsip syariah.
Untuk menampung aspirasi dan kebutuhan masyarakat, maka Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 ini memberikan kesempatan yang seluas-luasnya bagi masyarakat untuk mendirikan bank yang menyelenggarakan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah. Hal ini tercermin telah diaturnya prinsip syariah dalam undang-undang tersebut, sehingga di sini terlihat jelas bahwa terjadi perubahan kehidupan sosial masyarakat yang menghendaki adanya ius constituendum, karena adanya pergeseran standar perilaku, di mana sebelumnya merupakan standar perilaku pribadi. Standar perilaku pribadi inilah yang menghendaki adanya perubahan di bidang peraturan perundang-undangan.
Perilaku pribadi tersebut banyak dipengaruhi oleh agama Islam dan kebudayaan Islam. Mungkin ini merupakan akibat tuntutan baru dari masyarakat yang mayoritas beragama Islam, sehingga pranata hukum Islam dikehendaki untuk dapat diterima dan diakui dalam hukum nasional, sebagai bagian dari proses membangun suatu masyarakat yang adil dan makmur. Untuk itu, maka konsep-konsep yang berdasarkan hukum Islam mulai dimasukkan ke dalam peraturan perundang-undangan. Seperti istilah-istilah yang sesuai dengan syariah, yaitu:
a. mudharabah: pembiayaan berdasarkan prinsip bagi hasil;
b. mushrakah: pembiayaan berdasarkan prinsip penyertaan modal;
c. Murabahah: prinsip jual-beli barang dengan memperoleh keuntungan;
d. Ijarah: pembiayaan barang modal berdasarkan prinsip sewa murni tanpa pilihan (leasing tanpa hak opsi);
e. Ijarah wa iqtima: pembiayaan barang modal berdasarkan prinsip sewa dengan adanya pilihan pemindahan kepemilikan atas barang yang disewa dari pihak bank oleh pihak lain (leasing dengan hak opsi).
Istilah-istilah tersebut mencerminkan adanya perilaku kehidupan masyarakat sehari-hari yang sesuai dengan agama yang dipeluknya yaitu agama Islam.
Lahirnya bank berdasarkan prinsip syariah yang telah dituangkan dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tersebut benar-benar seperti gayung bersambut. Betapa tidak, karena sebagian besar bangsa Indonesia beragama Islam, yang menurut hukum Islam bahwa bank yang mengandalkan simpanan atau kreditnya berdasarkan “bunga” itu dilarang (tidak sesuai dengan ajaran Islam), karena dipersamakan dengan bunga uang atau setidak-tidaknya ada keraguan terhadap halal atau haramnya bunga bank. Sehingga lembaga alternatif berupa bank tanpa bunga, yakni dengan sistem bagi hasil, yang berdasarkan pada nilai-nilai yang terkandung dalam agama (hukum) Islam benar-benar diharapkan oleh masyarakat.
Sedangkan yang dimaksud dengan prinsip bagi hasil itu sendiri adalah prinsip muamalat berdasarkan kepada syariat Islam, dalam melakukan kegiatan usaha bank (Peraturan Pemerinah Nomor 72 Tahun 1992). Dengan demikian bank yang berdasarkan syariah adalah bank-bank yang mendasari produknya dan pelaksanaannya menurut hukum Islam dan berdasarkan Al-Quran dan As-Sunnah. Secara Umum prinsip bagi hasil dalam perbankan syari’ah dapat dilakukan dengan empat akad utama yaitu al-musyarakah, al-mudharabah, al-muzara’ah, dan al-musaqah.[10]
Karena produk-produk dari bank berdasarkan syariah yang bersumber dari syariat Islam, maka seluruh kegiatan yang dilakukan oleh bank berdasarkan syariah tidak boleh bertentangan dengan hukum Islam.
Salah satu yang menjadi prinsip dasar dari bank yang berdasarkan syariah adalah, baik bank maupun nasabah tidak diperkenankan menerima bunga bank. Akan tetapi jika ada hasil, maka hasil tersebutlah yang dibagi di antara bank dengan pihak nasabah. Para ahli hukum Islam belum ada kata sepakat tentang status hukum bank-bank konvensional yang dalam operasionalnya memakai sistem bunga, maka salah satu jalan keluar dari persoalan tersebut dengan cara membentuk Bank Syari’ah dengan memakai prinsip bagi hasil.[11]
Dari uraian tersebut di atas jelas, bahwa pengaruh sistem hukum Islam terhadap pembahasaan hukum Indonesia tidak sekedar terletak pada istilah-istilah yang digunakan pada peraturan perundang-undangan saja, akan tetapi lebih pada konteks Islam sebagai agama yang diwahyukan oleh Allah s.w.t., karena barang siapa yang bertindak / yang memutuskan suatu perkara tidak atas dasar hukum Allah, maka dikategorikan sebagai orang yang fasiq (tidak taat perintah)[12]. Oleh karena itu maka setiap orang yang taat pada ajaran agama Islam pasti ia tidak ingin dikatakan sebagai orang yang fasiq.
Islam sebagai agama, memuat ajaran yang bersifat universal dan komprehensif. Universal artinya bersifat umum, dan komprehensif artinya mencakup seluruh bidang kehidupan. Oleh karena itu sistem hukum Islam bersifat holistik, mencakup pengaturan diri manusia sebagai individu, mengatur hubungan manusia sebagai makhluk sosial dengan makhluk-makhluk yang lain dan juga mengatur tugas manusia sebagai wakil Tuhan di muka bumi / khalifatullah. Selain itu jangkauan sistem hukum Islam meliputi kehidupan di dunia dan di akherat, maka dari itu sistem hukum Islam selain rasional juga bersifat teologis.
Sistem hukum Islam yang dituangkan ke dalam bahasa hukum Indonesia, diambil dari bahasa Arab yang nota bene berasal dari Al-Quran dan As-Sunnah. Kemudian hukum-hukum dari Al-Quran tersebut dalam garis besarnya di kategorikan menjadi:
a. fardhu,[13]
b. sunnah/mandhub,[14]
c. haram,[15]
d. makruh[16] dan
e. mubah.[17]
Sehingga penggunaan bahasa Arab (bahasa Al-Quran) ke dalam bahasa hukum yang ada di Indonesia ini, mengharuskan agar di dalam penggunaan dan pemaknaan kata-kata / istilah-istilah dari bahasa Arab tersebut harus sesuai dengan makna yang dikehendaki di dalam bahasa Arab tersebut (bahasa Al-Quran), tidak boleh ditafsirkan secara kontekstual, apalagi didasarkan pada kepentingan-kepentingan politik, ekonomi, sosial atau bahkan kelompok-kelompok tertentu.
Sebagai contoh penggunaan dan pemaknaan istilah-istilah dari bahasa Arab yang secara otentik dimasukkan ke dalam bahasa hukum Indonesia / peraturan perundang-undangan seperti yang telah disebutkan di atas, yaitu Undang-Undang Perbankan, adalah mempergunakan prinsip syariah, dilatarbelakangi adanya tuntutan keimanan terhadap Allah s.w.t., yaitu yang tersurat dalam Al-Quran, tidak sekadar yang tersirat saja.
Landasan hukum bank syariah yang tersurat dalam Al-Quran dan Al-Hadis adalah yang tertuang dalam surat An-Nisa’ ayat 58 dan surat Al-Baqarah ayat 283
“Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat”. (QS.An-Nisa’:58) sedangkan dalam surat Al-Baqarah ayat 283 dijelaskan;
“Jika kamu dalam perjalanan (dan bermu'amalah tidak secara tunai) sedang kamu tidak memperoleh seorang penulis, maka hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang[18] (oleh yang berpiutang). Akan tetapi jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain, maka hendaklah yang dipercayai itu menunaikan amanatnya (hutangnya) dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya; dan janganlah kamu (para saksi) menyembunyikan persaksian. Dan barangsiapa yang menyembunyikannya, maka sesungguhnya ia adalah orang yang berdosa hatinya; dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan”. (QS. al-Baqarah : 283)

Kemudian dalam hadis juga disebutkan adanya landasan dari syariah, yaitu bahwa hadis Rasulullah s.a.w., menyebutkan:
“Katakanlah kebenaran itu sekalipun pahit.” (Al Hadist)
“Barang siapa di antara kamu melihat kemungkaran, hendaklah ia mengubahnya dengan tangan (kekuasaannya). Apabila tidak sanggup, dengan ucapannya, apabila tidak sanggup dengan hatinya dan itulah selemah-lemahnya iman.” (al-Hadist)
Landasan hukum yang berdasarkan syariah tersebut mempunyai makna, bahwa setiap muslim diwajibkan untuk berbuat adil sesuai dengan ruh hukum Islam, oleh karena itu dengan kegiatan bisnis yang berpedoman pada hukum Islam, maka seseorang telah mengerjakan hal-hal yang dibenarkan dalam ajaran Islam. Sehingga konsep dasar pembiayaan yang dilakukan oleh bank syariah adalah, bahwa usaha-usaha yang dibiayai harus sesuai dengan syariat Islam. Bank syariah tidak akan membiayai usaha yang terkandung di dalamnya hal-hal yang diharamkan, misal adanya “riba”, yang merupakan analog dengan bunga bank, Al-Quran surat Al-Baqarah ayat 275 menyebutkan :
“Orang-orang yang makan (mengambil) riba[19] tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila[20]. Keadaan mereka yang demikian itu, adalah disebabkan mereka berkata (berpendapat), sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.” (QS. Al-Baqarah : 275
Selanjutnya dalam Al-Quran surat An-Nisa ayat 29 disebutkan:
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu makan harta sesamamu dengan jalan yang bathil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama suka di antara kamu” (Al-Quran surat An-Nisa: 29)
Berdasarkan sistem ajaran Islam tersebut, terlihat bahwa sistem muamalah dalam Islam adalah meliputi berbagai aspek ajaran, yaitu mulai dari persoalan hak atau hukum (the right) sampai kepada urusan lembaga keuangan. Lembaga keuangan diadakan dalam rangka untuk mewadahi aktivitas konsumsi, simpanan dan investasi. Selain itu lembaga-lembaga yang telah lazim dikenal ditengah-tengah masyarakat Islam, lembaga-lembaga dan instrument keuangan akan selalu mengalami perkembangan baik kualitas maupun kuantitas sesuai dengan tuntutan obyektif masyarakat.[21]
Dari uraian di atas tersebut jelas bahwa sistem hukum Islam itu merupakan order / tuntutan kehidupan. Sedangkan sistem hukum Islam adalah identik dengan hukum yang berasal dari Tuhan (Al-Quran), yang diwahyukan kepada nabi Muhammad, sehingga pola perilaku manusia hanya bisa dibenarkan apabila bertindak atas dasar apa yang diwahyukan oleh Allah. Oleh karena itu, di sini nampak bahwa Islam / sistem hukum Islam mengakui / percaya adanya hukum Tuhan. Hal ini sama seperti teori hukum alam yang menganggap bahwa hukum itu berasal dari Tuhan; yaitu berdasarkan wahyu dari Tuhan yang turun kepada manusia dengan suatu proses, bukan merupakan konstruksi akal manusia. Sehingga apabila berbicara tentang keadilan, maka keadilan yang hakiki itu hanya yang berasal dari Tuhan saja. Al-Qur’an dalam surat al-MAidah ayat 8 menggambarkan keadilan yang dimaksud adalah:
“Hai orang-orang yang beriman hendaklah kamu jadi orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa. Dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.”
Ayat diatas menjelaskan bahwa seorang yang beriman harus berlaku adil, walaupun kepada orang yang dibencinya, hal ini akan sulit untuk dilakukan oleh seseorang, karena manusia adalah makhluk yang lemah, penuh dengan kepentingan, maka akan sulit untuk berbuat adil,
Teori Hukum Alam
Konsep tentang hukum alam tidak ditemukan oleh filosof atau ilmuan tertentu manapun. Meskipun ide tersebut dikristalisasi hanya dalam era keilmuan modern, asal usulnya berpulang ke permulaan sejarah, dan terkait erat dengan agama. Agama-agama monoteistik memahami Tuhan, sebagai pemeberi hukum (the lawgiver). Tuhan, yang independen dan terpisah dari ciptaan-Nya, memaksakan hukum-hukum diatas alam semesta, fisik dari luar. Alam dianggap tunduk kepada hukum-hukum dengan titah ilahi. Uskup Paris pada tahun 1277 mengutuk ide-ide Aristotelian yang berpendapat bahwa ‘hubungan Tuhan dengan alam lebih merupakan hubungan partner ketimbang hubungan kedaulatan’ untuk digantikan dalam doktrin dengan gagasan Tuhan Pemberi hukum, yang terpadu dengan begitu baik dalam hymne kempthron;
Pujian bagi Tuhan! Karena Dia telah berfirman
Dunia-dunia suara agungNya ditaati
Hukum-hukum yang tidak akan pernah rusak
Demi membimbing mereka. Dia telah berbuat.
Adalah menarik untuk menelusuri pengaruh-pengaruh budaya dan religious yang bekerja dalam formulasi konsep modern tentang hukum alam. Eropa abad pertengahan, yang disatu sisi tunduk pada doktrin Kristen tentang hukum Tuhan yang termanifestasi dalam alam, dan di lain sisi tunduk pada konsep hukum sipil yang dipaksa dengan ketat, memberikan milieu yang subur bagi kemunculan ide alamiah tentang hukum alam.[22]
Teori hukum alam menurut Friedmann, sejarah tentang hukum alam adalah sejarah umat manusia, dalam usahanya untuk menemukan apa yang dinamakan absolute justice (keadilan yang mutlak), di samping sejarah tentang kegagalan umat manusia dalam mencari keadilan tersebut. Pengertian hukum alam berubah-ubah sesuai dengan perubahan masyarakat dan keadaan politik
Menurut sumbernya, hukum alam berasal dari:
ü Hukum alam yang bersumber dari Tuhan (irrasional) dan
ü Hukum alam yang bersumber dari ratio manusia
Hukum alam yang bersumber dari Tuhan dapat diartikan bahwa manusia terikat oleh hukum karena hukum itu dibuat oleh Tuhan.[23]
Menurut Gratianus bahwa manusia itu dikuasai oleh dua hukum, yakni hukum alam dan adat kebiasaan. Hukum alam ialah sebagaimana terdapat di dalam kitab suci (Taurat, zabur, Injil dan al-Qur’an). Lebih lanjut disebutkan bahwa hukum alam itu lahir bersamaan dengan terciptanya manusia sebagai makhluk yang berakal. Hukum alam ini tidak akan berubah sepanjang zaman. Terhadap hukum-hukum lainnya, hukum alam ini mempunyai kedudukan yang lebih tinggi Selanjutnya William Occam dari Inggris menyatakan bahwa hukum itu identik dengan kehendak mutlak Tuhan. Kemudian ada seorang sarjana Spanyol yang bernama Fransisco Suarez, mengetengahkan bahwa manusia yang bersusila dalam pergaulan hidupnya diatur oleh suatu ketentuan yang disebutnya sebagai suatu peraturan umum yang khas memuat unsur-unsur kemauan dan akal. Tuhan adalah pencipta hukum alam yang berlaku di semua tempat dan di setiap waktu. Berdasarkan akalnya manusia dapat menerima adanya hukum tersebut, dan dengan demikian manusia tadi dapat membedakan adil dan tidak adil, buruk atau jahat dan baik atau jujur. Menurut Aristoteles, variant-variant dari keadilan umum meliputi justitia distributiva dan justitia komutativa.[24]
Dari teori hukum alam tersebut, pada dasarnya dalam kehidupan pribadi seseorang itu dipengaruhi oleh kaidah keagamaan / kepercayaan yang merupakan tuntunan dalam berperilaku di dalam kehidupan sosialnya. Kaidah keagamaan ini ditujukan kepada kehidupan manusia yang beriman yang mewajibkan kepada manusia untuk tidak melakukan perbuatan jahat. Oleh karena itu, kaidah kepercayaan / keagamaan ini tidak ditujukan kepada sikap lahir, tetapi sikap batin manusia. Sebab itu maka hukum yang datangnya dari Tuhan wajib harus ditaati dan dilaksanakan, karena itu adalah merupakan perintah Tuhan.
Berdasarkan kewajiban menuruti kehendak Tuhan itu, maka manusia menganggap dirinya terikat untuk melakukan perintah, tidak semata-mata terhadap Tuhan, melainkan juga terhadap diri sendiri dan sesama manusia, perintah yang dinyatakan oleh Tuhan kepadanya, baik langsung (yaitu kepada mereka yang menempatkan dirinya langsung di bawah pimpinan Tuhan), maupun tidak langsung, misalnya, melalui kitab suci. Sehingga manusia dalam batinnya merasa terikat, berdasarkan hubungannya dengan Tuhan.
Manusia memenuhi suatu perintah karena dalam dirinya ada (pengaruh) kebiasaan untuk mematuhi suatu kaidah hukum, sehingga di sini menunjukkan bahwa dalam diri manusia itu ada suatu kewajiban untuk berperilaku sesuai dengan kaidah hukum (dalam hal ini adalah perintah Allah)
Dengan demikian salah satu bentuk ketaatan manusia kepada Sang Pencipt adalah melaksanakan perintahNya sebagai realisasi ketaqwaan kepada Tuhannya.
Ada beberapa penggolongan dalam perintah perilaku, yaitu:
1. Perintah (gebod), ini adalah kewajiban umum untuk melakukan sesuatu;
2. Larangan (verbod), ini adalah kewajiban umum untuk tidak melakukan sesuatu;.
3. Pembebasan (vrijstelling, dispensasi), ini adalah pembolehan (verlof) khusus untuk tidak melakukan sesuatu yang secara umum diharuskan;
4. izin (toestemming, permisi), ini adalah pembolehan khusus untuk melakukan sesuatu yang secara umum dilarang.
Diluar istilah tersebut, terdapat juga istilah yang mencerminkan pergeseran standar perilaku pribadi, seperti di Aceh, konsep aurat merupakan bagian standar kepribadian taat agama. Konsep ini kemudian diberlakukan secara umum dengan penegakan kawasan penutupan aurat secara umum.[25]
Ke empat penggolongan tersebut sesuai dengan apa yang berlaku dalam sistem hukum Islam, yaitu: ada lima kategori penggolongan hukum dalam bahasa hukum menurut sistem hukum Islam, yakni:
a. Fardhu
b. Sunnah / mandhub
c. Haram
d. Makruh
e. Mubah
Oleh karena itu maka dalam memahami bahasa hukum (bahasa hukum Islam) tidak bisa dimaknai secara tekstual, apalagi dipahami secara parsial, ini tidak mungkin.
Hal ini sesuai dengan ajaran Islam, yaitu yang mengajarkan umatnya untuk memahami sesuatu secara benar dan mendalam. Seperti kata “apala tatafakkarun, apala tata dzakarun, apala tatadabbarun, apala ta’lamun” dan berbagai kalimat dan sighat lainnya yang senapas yang mengandung arti agar setiap muslim atau manusia harus memahami sesuatu secara benar dan mendalam agar selain untuk melahirkan pemahaman yang hakiki, juga untuk mencegah kekeliruan, kesalahan, dan kesesatan. Maka orang Islam dituntut untuk menjadi uli-nuha, ulil-albab, uli-abshar, dan predikat-predikat sejenis yang intinya orang yang memahami lahir dan bathin segala sesuatu, memahami teks dan konteks, memahami ayat-ayat Qur’ani maupun Qauny dan hal-hal esensial lainnya secara benar dan mendalam, bahkan seluas horizon.
Sehingga dalam memahami Islam dituntut untuk dimulai dari pemahaman yang elementer hingga ke masalah yang lebih luas, apa maknanya, bagaimana maksudnya, agar sampai pada pemahaman yang sesungguhnya.
Kata atau istilah memahami ini berasal dari kata / bahasa arab: paham (fa-hi-ma, yaf-ha-mu, fahman) yang artinya adalah, mengetahui urusan sesuatu. Jadi memahami berarti fahm al-ma’na, yaitu mengetahui atau mengerti tentang makna sesuatu.
Dalam hal ini kaitannya dengan pembahasaan hukum di Indonesia, peningkatan minat masyarakat terhadap akidah dan pengajaran Islam sebagai pedoman hidup telah sangat berpengaruh. Ini menyebabkan banyak sarjana hukumdi Indonesia telah merenungkan kembali pengetahuan dan pemikirannya tentang hukum untuk mengukur sejauh mana pendiriannya itu sesuai dengan ajaran Islam.[26]
Suatu perubahan sosial lebih mudah terjadi apabila suatu masyarakat sering mengadakan kontak dengan masyarakat yang lain, atau mempunyai sistem pendidikan yang maju.
Di dalam proses perubahan hukum (terutama yang tertulis) kadang-kadang di Indonesia terjadi tertinggalnya hukum terhadap bidang-bidang yang lain, hal ini terjadi apabila hukum tidak dapat memenuhi kebutuhan-kebutuhan masyarakat. Keadaan ini nampak setelah era reformasi, terjadi demokratisasi, yakni telah tertampungnya istilah-istilah dari hukum Islam ke dalam peraturan perundang-undangan, yang sebelumnya tidak dimasukkan ke dalam peraturan perundang-undangan. Ini mencerminkan telah terjadi pergeseran perilaku pribadi, dari kebudayaan Islam yang hendak ditegakkan secara umum. Produk hukum nasional yang baru banyak dijumpai kosa kata yang diperkaya dengan kata-kata atau istilah yang berasal dari bahasa Arab atau hukum Islam, sebagaimana telah diuraikan di atas, yakni Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998, tentang Perbankan, dijumpai kosa kata prinsip syariah, mudharabah, musharakah, murabahah, ijarah wa iqtima, dan sebagainya.
Ini membuktikan adanya pengaruh agama Islam dan kebudayaan Islam terhadap produk hukum Indonesia.





Kesimpulan
Di samping pembedaan antara bahasa lisan dan bahasa tulisan ataupun bahasa simbol ada lagi bahasa ilmiah – bahasa keilmuan yang dipelajari dalam hukum sebagai bahasa keilmuan tentang hukum, yaitu bahasa yang digunakan dalam mempelajari hukum sebagai ilmu pengetahuan.
Seiring adanya perubahan di dalam masyarakat Indonesia pada pertengahan tahun 1998 atau sering disebut sebagai awal era reformasi, terjadi pula perubahan dalam pola pemahaman bahasa dan pemilihan istilah di bidang hukum. Perubahan dalam nilai kehidupan masyarakat juga berakibat terhadap pemakaian istilah di dalam produk hukum.
Perubahan dalam tata kehidupan masyarakat telah mempengaruhi pemakaian istilah dalam produk hukum di Indonesia, yaitu pengaruh agama Islam dan kebudayaan Islam. Hal ini merupakan akibat tuntutan dari masyarakat Indonesia yang mayoritas beragama Islam, yang menghendaki agar pranata hukum Islam diterima dan diakui dalam hukum nasional.
Ini terbukti dalam periode tahun 1998 sampai sekarang, telah banyak produk hukum nasional yang sudah mencerminkan adanya pranata hukum Islam di dalam peraturan perundang-undangan; seperti misalnya peraturan tentang Perbankan, Yayasan, Wakaf, dan sebagainya.


Daftar Pustaka

Arief Sidharta. 2002. Bahasa Hukum Indonesia: Krisis Bahasa di antara Pakem dan Frase. majalah hukum “Jentera”, Edisi 1 Agustus. Jakarta: Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia.
Churchill, Gregory. 2002. Badai Bahasa: Tanda-tanda Arah Perubahan dari Kosa-kata Hukum. majalah hukum “Jentera”, Edisi 1 Agustus. Jakarta: Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia.
Depag RI. 1985. Al- Qur’an dan Terjemahnya. Jakarta. Depag RI.
Hilman Hadikusuma. 1992. Bahasa Hukum Indonesia. Bandung: Alumni.
Muhammad Syafi’I Antonio.2001.Bank Syari’ah dari Teori ke Praktek.Jakarta .Gema Insani
Nasution, Bahder Johan dan Sri Warjiyati. 2001. Bahasa Indonesia Hukum. Bandung: PT. Citra Aditya Bakti.
Rachmadi Usman, 2003. Perkembangan Hukum Perdata dalam Dimensi Sejarah dan Politik Hukum di Indonesia. Jakarta, Pustaka Sinar Harapan
Paul Davies, 2002. Membaca Pikiran Tuhan, Dasar-dasar Ilmiah dalam Dunia yang Rasional. Yogyakarta. Pustaka Pelajar
Ivan Rahmawan, 2005. Kumpulan ayat-ayat al-Qur’an Bertema Muamalah / Ekonomi. Yogyakarta. Pilar Media
Sudikno Mertokusumo. 2007. Teori dan Politik Hukum. Yogyakarta:Program Pascasarjana Universitas Gajah Mada.
Suhrawardi K. Lubis.2000. Hukum Ekonomi Islam.Jakarta.Sinar Grafika
W. J. S. Poerwadarminta, 1976. Kamus Umum Bahasa Indonesia. Jakarta. PN Balai Pustaka.



















Acuan revisi bahasa hukum
1. Adanya kebutuhan spiritual setiap manusia pada dimensi ilmu hukum yaitu kebenaran dan keadilan
- Adanya makna-makna tertentu yang disebut kebenaran dan keadilan
- Perlu adanya persepsi yang sama oleh anggota masyarakat tentang kebenaran dan keadilan melalui komunikasi
- Alat komunikasi ini adalah bahasa hukum sebagai alat untuk memaparkan kebenaran dan keadilan
- Dalam rangka memperoleh kebenaran dan keadilan akan timbul permasalahan dalam hal ini dimensi bahasa hukum;
a. Belum adanya tanda-tanda kebahasaan yang efeknya menyampaikan kebenarann dan keadilan
b. Tanda-tanda kebahasaan sudah ada tetapi tidak sesuai lagi sehingga perlu dirubah (symbol, tanda bentuk)
c. Perlu adanya tanda-tanda kebahasaan yang sudah saatnya diganti
2. Bentuk
3. Mengapa tanda/symbol itu yang dipilih?
a. Apakah tanda-tanda kebahasaan itu berdiri sendiri atau dirangkai
b. Siapa sebetulnya yang memperkenalkan/menggagas tanda/symbol tersebut
c. Sejak kapan dan dimana tanda-tanda kebahasan itu mulai ada, apakah sifat keberlakuannya bersifat kedaerahan atau nasional atau bahkan internasional
4. Sosialisasi dari bahasa hukum
a. Dari sosialisasi itu akan menimbulkan tanggapan pro dan kontra, jika proseperti apa tanggapannya dan jika kontra seperti apa tanggapannya
5. Dinamika bahasa hukum
Bahasa hukum selalu dilaksanakan dengan segala dinamikanya, apakah pesan-pesan didalam bahasa tersebut (keadilan dan kebenaran) benarkah sudah efektif atau terjadi manipulasi bahasa hukum. Apakah pesan kebanran itu sudah tercapai?
6. Temukan pandangan kritis terhadap bahasa hukum itu sendiri
7. Saran dan rekomendasi.


[1] Bahder Johan Nasution dan Sri Warjiyati, Bahasa Hukum Indonesia, Bandung, PT Citra Aditya Bakti,2001,halaman 7-8.
[2] Hilman Hadi Kusumo,Bahasa Hukum Indonesia,Bandung,Alumni,halaman 1992
[3] Ibid, halaman 29
[4] Op.cit, halaman 9
[5] Arif Sidharta, Majalah Hukum Jentera, Jakarta, Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia, 2002
[6] Rachmadi Usman , Perkembangan Hukum Perdata dalam Dimensi Sejarah dan Politik Hukum di Indonesia, (Jakarta, Pustaka Sinar Harapan, 2003) hlm. 84-86
[7] Ibid, hlm. 119-120
[8] Gregory Churchill, Majalah Hukum Jentera, Jakarta, Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia, 2002, halaman 49.
[9] Gregory Churchill, Ibid, halaman 51
[10] Muhammad Syafi’I Antonio, Bank Syari’ah dari teori ke Praktik, Jakarta, Gema Insani, 2001,halaman 90
[11] Suhrawardi K. Lubis, Hukum Ekonomi Islam, Jakarta, Sinar Grafika, 2000,halaman 46.
[12] QS. al-Maidah; 47.
[13] Perlu; kewajiban (Sesutu yang wajib dilakukan menurut agama Islam).
[14] Perbuatan yang baik dijalankan meskipun tidak wajibkan. Golongan orang Islam yang berpendapat bahwa ajarannya sesuai dengan apa yang telah diperbuat oleh Nabi Muhammad s.a.w.
[15] Terlarang, tidak halal.
[16] Perbuatan yang sangat tercela atau terbenci, tetapi tidak haram.
[17] Tidak diharamkan dan tidak pula dihalalkan.
[18] Barang tanggungan (borg) itu diadakan bila satu sama lain tidak percaya mempercayai.
[19] Riba itu ada dua macam: nasiah dan fadhl. Riba nasiah ialah pembayaran lebih yang disyaratkan oleh orang yang meminjamkan. Riba fadhl ialah penukaran suatu barang dengan barang yang sejenis, tetapi lebih banyak jumlahnya karena orang yang menukarkan mensyaratkan demikian, seperti penukaran emas dengan emas, padi dengan padi, dan sebagainya. Riba yang dimaksud dalam ayat ini riba nasiah yang berlipat ganda yang umum terjadi dalam masyarakat Arab zaman jahiliyah.
[20] Maksudnya: orang yang mengambil riba tidak tenteram jiwanya seperti orang kemasukan syaitan.
[21] Suhrawardi K. Lubis, Ibid, halaman 33
[22] Paul Davies, Membaca Pikiran Tuhan Dasar-dasar Ilmiah dalam Dunia yang Rasional, Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2002. hlm. 102-106.
[23] Sudikno Mertokusumo, Teori dan Politik Hukum, Yogyakarta, Pascasarjana UGM, 2007, halaman 36
[24] Sudikno Mertokusumo, ibid, halaman 38
[25] Gregory Churchill, Op. Cit, halaman 54
[26] Gregory Churchill, ibid, halaman 51

Do'a untuk sang kekasih

Tuhan,
Aku titipkan kekasihku
Kepada-Mu melalui angin,
Biarkan ia berhembus
Dalam rongga nafasku
Hingga ia memberi kehidupan
Melalui mata air embun pagi
Lembut hembusannya
Membelai jiwaku
Membuai padang tandus
Menjadi taman surgawi

Tuhan,
Aku titipkan kekasihku
Kepada-Mu melalui awan,
Biarkan ia menjadi peneduh
saat terik
Dan jadikan ia hujan
saat rinduku dahaga
bening tetesan ainya mengalir
menjadi nadiku
menyejukkan hati dan
membukakan mata

Tuhan,
Aku titipkan kekasihku
Kepada-Mu melalui bunga-bunga,
Hindarkan ia dari kumbang-kumbang
Yang kan merusak rona merekahnya
Dan jadikan semerbak
Aromanya menjadi
Pembuluh rinduku
Jadikan embun pagi
Sebagai pelindung
Keelokan hatinya hingga saat
Aku memetiknya dan
Kusemayamkan dalam jiwaku

Tuhan,
Aku titipkan kekasihku

Minggu, 06 Juli 2008

tidak...tidak...!

Ketika kita lupa arah mata angin kesejatian
hingga seakan kita berada ditengah sunyi belantara
kearifan semak belukar peradaban tanpa faham
buas zaman klaim mesucian
terjalan ya varian karakter manusia
serta curamnya hasrat sahwat yang tak terkelola
Tidak..tidak…!
kita justru sedang berada di suatu taman yang sangat nyaman
dimana terjal-terjal gundukan penuh romansa
jalan-jalan berliku yang membimbing keseimbangan
onak duri melekat pada sekuntum bunga dengan beribu harumnya
sunyinya mematangkan jiwa dan belukarnya adalah romansa…
sungguh tiap-tiap peristiwa yang hinggap dalam kehidupan sedetik ini
adalah pembelajaran yang agung untuk pribadi kita.