Salam hangat

Selamat Datang di Hamdi Taufik. Blog ini merupakan media komunikasi untuk mencari titik taut di antara kebhinekaan yang ada. Dengan pikiran yang jernih lah perbedaan dapat diterima.

Jumat, 06 Juni 2008

PengambilanKeuntungan dalam Islam

ANALISIS PENGAMBILAN KEUNTUNGAN DALAM BISNIS
FOTOGRAFI MUSIMAN OLEH "DEVILLA STUDIO FOTO"
YOGYAKARTA

A. Analisa Kebolehan Pengambilan Keuntungan
Islam mengajarkan agar dalam berusaha hanya mengambil yang halal dan baik (thoyib) karena dalam Allah SWT telah memerintahkan kepada seluruh manusia, bukan hanya untuk orang yang beriman dan muslim saja atau hanya untuk mengambil segala sesuatu yang halal dan baik (thoyib). Dan untuk tidak mengikuti langkah-langkah syaitan, dengan mengambil yang tidak halal dan tidak tidak baik. Hal ini sebagaimana tergambar dalam firman Allah dalam Surat al- Baqarah:
يا أيها الناس كلوا مما في الأرضِ حلالا طَيبا ولا تتَبِعوا خطُوات الشيطَانِ إِنه لكم عدو مبِين [1]
Oleh karena itu dalam berusaha, Islam mengharuskan manusia untuk hanya mengambil hasil yang halal. Yang meliputi halal dari segi materi, halal dari cara perolehannya, serta juga harus halal dalam cara pemanfaatan atau penggunaannya. Sebagai suatu agama yang universal, Islam mengandung tuntunan kehidupan menuju kemaslahatan bagi manusia. Persoalan ekonomi merupakan suatu persoalan yang erat hubungannya dengan kemaslahatan bagi manusia. Karena kegiatan ekonomi merupakan tabiat manusia untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.
Usaha foto merupakan bagian dari kegiatan ekonomi yang erat hubungannya dengan masalah harta benda yang dalam tingkat dururi (primer) termasuk kemaslahatan yang di jaga. Allah dan rasulnya telah memberikan aturan-aturan yang jelas mengenai persoalan-persoalan harta benda manusia,bagaimana harta itu diperoleh, bagaimana harta itu disalurkan dan sebagainya. Oleh karena itu perilaku ekonomi harus selalu mengacu pada ketentuan-ketentuan yang di benarkan Syara’. Semua ketentuan tersebut digariskan agar setiap individu dalam melakukan kegiatannya dapat selaras dengan nilai-nilai yang terdapat dalam al-Qur’an dan sunah. Dengan berpegang pada aturan-aturan Islam manusia mencapai tujuan yang tidak semata-mata bersifat materi melainkan didasarkan pada kesejahteraan bersama baik itu untuk kehidupan di dunia atau kehidupan di akhirat.
Kebolehan pengambilan keuntungan didasarkan pada ketentuan suatu akad yang sesuai dengan syarat dan rukunnya. Menurut Ahmad Abu al-Fath. Dalam suatu akad paling tidak harus terdiri dari tiga unsur yakni:[2]
1. Aqidani, yakni pihak yang melukakan akad yang disertai ijab Kabul. Dalam hal ini adalah pihak fotografer dan konsumen
2. Sigat al-‘Aqd, yakni suatu pernyataan keridaan dari foto dan konsumen, artinya adanya kesepakatan kedua belah pihak baik lisan maupun tulisan.
Dalam ekonomi Islam pengambilan keuntungan harus memenuhi unsur adil, sebagaimana firman Allah yang berbunyi:
وإِلى مدين أخاهم شعيبا قَال يا قَوم اعبدوا اللَّه ما لكم من إلَه غيره ولا تنقصوا المكيال والميزان إِني أراكم بخير وإني أخاف عليكم عذاب يوم محيط [3]
Dari ayat di atas dapat difahami bahwa kebolehan pengambilan keuntungan terhadap bisnis fotografi musiman harus didasarkan pada aspek keadilan, sehingga membawa kemanfaatan untuk semua pihak. Lawan dari ketidakadilan adalah tindakan yang merugikan manusia, yang merampas hal-hak manusia dan segala perbuatan yang dapat menimbulkan kerusakan pada masyarakat. Dengan demikian adil, adalah nilai dasar yang berlaku dalam kehidupan social (social life).[4]
Nilai adil merupakan pusat orientasi dalam interaksi antar manusia. Jika keadilan dilanggar, maka akan terjadi ketidakseimbangan dalam pergaulan hidup. Sebab, suatu pihak akan dirugikan atau disengsarakan, walaupun yang lain memperoleh keuntungan. Tetapi keuntungan sepihak itu hanya akan berlaku sementara waktu. Jika system social rusak karena keadilan telah dilanggar, maka seluruh masyarakat akan mengalami kerusakan yang dampaknya akan menimpa semua orang. Bahkan ketika telah terjadi ketidak seimbangan, maka kerugian bisa menimpa orang yang melanggar keadilan dan memperoleh keuntungan.[5]
Pada prinsipnya kebolehan mengambil keuntungan disesuaikan dengan teori penentuan harga sebagaimana penjelasan Abu Yusuf yang menyatakan bahwa, "jika tersedia sedikit barang maka harga akan mahal dan sebaliknya".[6] Logika ini jika ditarik dalam konsep pengambilan keuntungan terhadap bisnis fotografi musiman akan terdapat korelasi yang positif. Dalam hal ini, pengambilan keuntungan akan disesuaikan dengan penentuan harga penjualan foto, apakah murah atau mahal tergantung berapa keuntungan yang akan diambil. Jika keuntungan yang akan diambil oleh Devilla Foto berkisar antara 100% sampai 400% dari biaya produksi Rp.5.000,-. Maka, harga penjualan foto rata-rata berkisar Rp.10.000,- sampai 20.000,-.
Berkaitan dengan korelasi antara keuntungan dan harga, Imam al-Gazali dan juga para pemikir pada zamanya ketika membicarakan harga biasanya langsung mengaitkanya dengan keuntungan. Keuntungan belum secara jelas dikaitkan dengan pendapatan dan biaya. Menurut al-Ghazali, keuntungan adalah kompensasi dari kepayahan, resiko bisnis, dan ancaman keselamatan diri si pedagang. Walaupun, ia tidak setuju dengan keuntungan yang berlebih untuk menjadi motivasi pedagang. Keuntunganlah yang menjadi motivasi pedagang, namun keuntungan yang sesungguhnya adalah keuntungan di akhirat kelak. [7]
Al-Gazali dalam melihat persoalan ini menyatakan bahwa beliau tidak menolak kenyataan bahwa keuntunganlah yang menjadi motif perdagangan. Bahkan lebih jauh Al-Ghazali menjabarkan pentingnya peranan pemerintah dalam menjamin keamanan jalur perdagangan demi kelancaran perdagangan dan pertumbuhan ekonomi, namun, harus sesuai dengan etika yang sesuai.[8] Berangkat dari hal tersebut, maka kebolehan pengambilan keuntungan dalam bisnis fotografi musiman harus disesuaikan dengan etika Islam yang mengedepankan kepentingan umum atau tidak merugikan salah satu pihak.
Analisa kebolehan pengambilan keuntungan ini juga didasarkan pada teori al-Gazali tentang "elastisitas permintaan", yaitu: mengurangi margin keuntungan dengan menjual pada harga yang lebih murah akan meningkatkan volume penjualan dan ini pada gilirannya akan meningkatkan keuntungan.[9] Konsep ini didasarkan pada produk makanan, karena makanan adalah kebutuhan pokok, perdagangan makanan harus seminimal mungkin didorong oleh motif mencari keuntungan untuk menghindari eksploitasi. Keuntungan semacam ini seyogyanya dicari dari barang-barang yang bukan merupakan kebutuhan pokok.
Jika Al-Ghazali membolehkan pengambilan keuntungan berdasarkan konsep "elastisitas permintaan", maka berkaitan dengan bisnis fotografi musiman hal ini sangat relavan. Artinya, jika harga kebutuhan pokok harus diminimalisir dalam mencari keuntungan, karena kebutuhan pokok menjadi sesuatu yang penting. Maka dalam hal ini, bisnis fotografi musiman pun boleh saja mengambil keuntungan berdasarkan ketentuan yang berlaku di masyarakat.
B. Analisa Pengambilan Keuntungan Berdasarkan Event
Pengambilan keuntungan berdasarkan event tidak bisa lepas dari kebiasaaan masyarakat yang selama ini menggunakan jasa fotografi untuk mendokumentasikan acara yang bersangkutan. Dalam hal ini, Devilla Foto selalu memanfaatkan suatu moment atau event tersebut dalam menjalankan usahanya. Yang dimaksudkan dengan moment atau event adalah suasana atau waktu yang dianggap penting, dimana peristiwa itu dijadikan oleh masyarakat sebagai suatu tradisi, yang pada akhirnya dalam kesempatan tersebut masyarakat cenderung untuk mengadakan perayaan. Berkaitan dengan bisnis yang dilatarbelakangi oleh peristiwa (event) akan mempengaruhi permintaan untuk memenuhi kebutuhan yang bersangkutan.
Berkaitan dengan event ini, seperti yang sering terjadi dalam tradisi bangsa Indonesia yakni pada setiap musim lebaran (idul fitri), maka kecenderungan harga kebutuhan pokok dan kebutuhan yang lain menjadi naik. Begitu juga keadaan ini bisa merubah barang mewah menjadi kebutuhan pokok, misalnya kebutuhan akan pakaian perabot rumah tangga, karena ada asumsi yang beredar pada masyarakat bahwa lebaran identik dengan sesuatu yang baru. Tradisi lebaran juga identik dengan mudik atau pulang kampong. Seiring dengan kebutuhan yang meningkat, maka mobilitas masyarakat akan menjadi naik pula. Oleh karena itu, dalam bidang transportasi pun sering kali dimanfaatkan oleh para pengusaha untuk menaikkan harga atau ongkos penumpang.
Berkaca dari tradisi lebaran sebagaimana dijelaskan di atas, maka ada korelasi positif dengan bisnis fotografi musiman yang dilakukan oleh Devilla Foto. Dalam hal ini, moment atau event akan berpengaruh pada jumlah pengambilan keuntungan, misalnya antara acara wisuda mahasiswa dengan kegiatan akhir tahun siswa-siswi sekolah dasar, atau kegiatan reuni dengan pernikahan akan sangat berbeda dalam penentuan harga dan juga pengambilan keuntungan. Perbedaan ini disebabkan oleh sifat atau urgensitas acara yang dilaksanakan, atau tergantung dari bersejarah atau tidaknya, dan siapa yang terlibat di dalamnya.
Berangkat dari persoalan tersebut, Devilla Foto menjadikan event sebagai sebuah strategi dalam pengambilan keuntungan yang sangat potensial. Hal ini selain memberikan keuntungan yang besar terhadap Devilla Foto, juga bermanfaat bagi kepuasan konsumen. Sebab dari hal itu, konsumen akan terbantu dengan adanya jasa fotografi musiman untuk mengabadikan moment yang dianggap bersejarah dalam hidupnya, atau bisa juga bermanfaat sebagai bukti laporan oleh kepanitiaan terhadap institusinya.
Berkaitan dengan pengambilan keuntungan berdasarkan moment (event), Ibnu Khaldun menjelaskan bahwa ada hubungannya antara pengaruh naik-turunnya penawaran terhadap harga suatu barang. Sama halnya dengan teori Ibnu Taimiyyah yang juga mengidentifikasi kekuatan permintaan dan penawaran sebagai penentu keseimbangan harga. Dari kedua argumentasi ini, maka dapat dianalogikan, bahwa "semakin mendesaknya suatu permintaan dalam hal ini event-event tertentu, maka harga akan semakin naik (tinggi).[10]
Disamping itu penentuan mengenai harga atau keuntungan pun, pemerintah sebenarnya tidak memiliki wewenang secara mutlak. Dalam hal ini, Ibnu Taimiyyah menjelaskan bahwa "pemerintah tidak perlu ikut campur tangan dalam menentukan harga selama mekanisme pasar berjalan normal. Hanya bila mekanisme normal tidak berjalan, pemerintah disarankan melakukan kontrol harga."[11] Dengan demikian, persoalan penentuan harga atau pengambilan keuntungan menjadi kewenangan masing-masing pelaku bisnis, atau berdasarkan kebijakan organisasi yang dimiliki, yaitu oleh Persatuan Fotografer Yogyakarta (PFY). Disamping untuk menjaga citra positif profesi fotografer, juga untuk menghindari persaingan yang tidak sehat khususnya dikalangan pelaku bisnis fotografi musiman.
C. Analisa Pengambilan Keuntungan Berdasarkan Segmen Pasar
Aktivitas perdagangan yang ditentukan oleh hukum permintaan dan penawaran sangat bergantung pada segmen pasar atau calon konsumen yang hendak dituju. Berkaitan dengan bisnis fotografi musiman, maka berlaku penentuan atau pengambilan keuntungan berdasarkan segmen pasar atau calon konsumen yang bersangkutan. Dalam hal ini, akan berbeda antara keuntungan satu kampus dengan kampus yang lain, misalnya antara kampus UII berbeda dengan kampus UIN. Hal ini disebabkan oleh image yang berkembang dimasyarakat, yang menyatakan bahwa mahasiswa UII lebih prestise dibandingkan dengan mahasiswa UIN. Walaupun tidak bisa dipungkiri bahwa persoalan ini sebenarnya tidak perlu terjadi atau menjadi persoalan yang urgen.
Pada wilayah teknis, segmen pasar ini sangat penting untuk dipertimbangkan dalam usaha. Bukan hanya antara kampus satu dengan yang lain, namun juga antara hotel yang satu dengan hotel yang lain, dan juga antara instansi satu dengan instansi lain. Kesemuanya memiliki keterkaitan dengan penentuan harga dan keuntungan oleh pelaku bisnis fotografi musiman. Dan hal inilah yang dilakukan oleh Devilla Foto dalam melaksanakan kegiatan bisnis fotografi musiman, khususnya di wilayah Yogyakarta.
Dalam mengkaji masalah ini, terdapat beberapa pendapat yang bisa dijadikan acuan. Salah satunya Imam al-Ghozali mengumpamakan segmen pasar itu adalah pasar, dimana setiap orang mengadakan transaksi bisnis. Beliau mengatakan "dapat saja petani hidup dimana alat-alat pertanian tidak tersedia. Sebaliknya, pandai besi dan tukang kayu hidup dimana lahan pertanian tidak ada. Namun secara alami, mereka saling memenuhi kebutuhan masing-masing. Oleh karena itu, secara alami pula orang akan terdorong untuk menyediakan tempat penyimpanan alat-alat di satu pihak dan tempat penyimpanan hasil pertanian di pihak lain. Tempat inilah kemudian yang didatangi pembeli sesuai dengan kebutuhannya masing-masing sehingga terbentuklah pasar. Petani, tukang kayu, dan pandai besi yang tidak dapat langsung melakukan barter, juga terdorong pergi ke pasar ini. Bila di pasar juga tidak ditemukan orang yang mau melakukan barter, ia akan menjual pada pedagang dengan harga yang relative murah untuk kemudian disimpan sebagai persediaan. Pedagang kemudian menjaulnya dengan suatu tingkat keuntungan. Hal ini berlaku untuk setiap jenis barang.[12]
Disamping itu Al-Ghazali juga berpendapat bahwa dalam perdagangan, seseorang bisa memberikan nilai tambah dengan menyediakannya pada waktu dan tempat dimana dibutuhkan. Artinya, pelaku bisnis fotografi musiman bisa memberikan nilai tambah terhadap barang yang hendak dijualnya, dalam hal ini adalah foto hasil cetakan kepada konsumen. Atau dengan kata lain, Devilla Foto atau studio foto yang lain bisa memberikan variasi harga terhadap foto yang dijual kepada konsumen, dengan catatan masih dalam standar harga atau keuntungan yang berlaku di masyarakat, dan tidak keluar dari etika atau ajaran Islam.
Sungguh indah jika pelaksanaan bisnis, khususnya fotografi musiman jika pada prakteknya memperhatikan aturan yang berlaku. Maka sebenarnya dengan displin, tidak akan pernah ada praktek-praktek yang tidak sehat dalam bisnis. Kaitannya dengan penentuan harga, seperti yang disadur oleh Adiwarman A. Karim bahwa "harga pernah mendadak naik pada masa Rasulullah, dan para sahabat mengatakan, wahai Rasulullah, tentukanlah harga untuk kita. Beliau menjawab, "Allah itu sesungguhnya adalah penentu harga, penahan, pencurah, serta pemberi rezeki. Aku mengharapkan dapat menemui Tuhanku di mana salah seorang dari kalian tidak menuntutku karena kezaliman dalam hal darah dan harta"[13]
Adiwarman A. Karim mengumukakan pemdapat Ibnu Taimiyyah, yaitu ketika masyarakat pada masa itu beranggapan bahwa peningktan harga merupakan akibat dari ketidakadilan dan tindakan melanggar hukum dari pihak penjual atau mungkin sebagai akibat manipulasi pasar, maka Ibnu Taimiyyah langsung membantahnya. Dengan tegas, ia mengatakan bahwa harga ditentukan oleh kekuatan penawaran dan permintaan. Besar kecilnya kenaikan harga bergantung pada besarnya perubahan penawaran dan atau permintaan. Bila semua transaksi sudah sesuai dengan aturan, kenaikan harga yang terjadi merupakan kehendak Allah. Hal tersebut menunjukkan sifat pasar yang impersonal. [14]
Penentuan harga atau keuntungan juga dipengaruhi oleh tingkat kepercayaan terhadap orang-orang yang terlibat dalam transaksi. Ibnu Taimiyyah mengumpamakan, bila seseorang cukup mampu dan terpercaya dalam membayar kredit, penjual akan senang melakukan transaksi dengan orang tersebut. Namun, apabila kredibilitas seseorang dalam masalah kredit telah diragukan, penjual akan ragu untuk melakukan transaksi dengan orang tersebut dan cenderung memasang harga tinggi. Demikian juga apabila menggunakan kontrak.
Berdasarkan teori yang dikemukan oleh Ibnu Taimiyyah tersebut di atas, maka kepercayaan terhadap penjual (fotografer) atau pembeli akan menimbulkan implikasi pada pengambilan keuntungan. Jika kepercayaan terhadap penjual tinggi karena kejujuran dan kualitas barangnya terjamin, maka konsumen akan mudah menerima atau membeli barang yang ditawarkan. Begitu juga sebaliknya, jika konsumennya dipandang mampu atau memiliki prestise (nilai lebih) dibandingkan dengan yang lain, maka fotografer berhak memberikan harga yang layak atau sesuai, tetapi masih dalam kerangka yang wajar sesuai etika Islam.
Analisa lain berkaitan dengan penentuan harga dan pengambilan keuntungan terhadap bisnis fotografi musiman, adalah sesuai dengan pendapat Ibnu Khaldun yang merupakan bapak ilmu ekonomi. Dalam karya monumentalnya "al-muqaddimah" sebagaimana di kutip Adiwarman, beliau membagi jenis barang menjadi barang kebutuhan pokok dan barang mewah. Menurutnya, "bila suatu kota berkembang dan selanjutnya populasinya bertambah banyak, harga-harga barang kebutuhan pokok akan mendapatkan prioritas pengadaanya. Akibatnya, penawaran meningkat dan ini berarti turunnya harga. Adapun untuk barang-barang mewah, permintaan akan meningkat sejalan dengan berkembangnya kota dan berubahnya gaya hidup. Akibatnya, harga barang mewah meningkat.[15]
Melihat kecenderungan yang terjadi dalam bisnis fotografi musiman di Yogyakarta, maka metode penentuan harga atau pengambilan keuntungan berdasarkan segmen pasar sangat berhubungan dan memiliki aspek yang perlu diperhitungkan. Hal ini dilandasi dengan berbagai macam argumentasi dari beberapa tokoh yang sudah dikemukakan di atas. Disamping itu, berdasarkan kaidah hokum Islam pun, maka segala sesuatu yang dilakukan demi kemaslahatan umat menjadi boleh untuk dilakukan.

D. Implikasi Pengambilan Keuntungan dalam Bisnis Fotografi
Implikasi dari besarnya pengambilam keutungan yang dilakukan oleh Devilla Foto dalam usaha fotografi musiman ini sangat beragam. Berdasarkan pengamatan penyusun, ditemukan dua reaksi konsumen: pertama, apabila konsumen tersebut tidak pernah atau jarang bersinggungan dengan usaha fotografi musiman, maka kecendrungannya akan menerima. Dan kedua, jika konsumen sering bersinggungan dengan usaha fotografi musiman, maka kecenderungan akan menggangap hal itu sebagai sesuatu yang berat.
Bagi konsumen yang kurang merespon dan kurang berminat untuk membelinya, maka sering kali terjadi tawar-menawar harga yang sangat "alot". Sehingga jika terjadi kesepakatan pun harga yang biasa diberikan oleh fotografer pun minimal berkisar Rp. 15.000,- sampai Rp. 8.000,-. Sifat fleksibilitas dalam pengambilan keuntungan ini didasarkan pada upaya saling menguntungkan antara kedua belah pihak, disamping untuk kelangsungan usaha yang dijalankan.
Ibnu Khaldun menjelaskan secara lebih rinci, bahwa keuntungan yang wajar akan mendorong tumbuhnya perdagangan, sedangkan keuntungan yang sangat rendah akan membuat lesu perdagangan, karena pedagang kehilangn motivasi. Sebaliknya, bila pedagang mengambil keuntungan sangat tinggi, juga akan membuat lesu perdagangan karena lemahnya permintaan konsumen.[16]
Alasan yang dikemukakan oleh Ibnu Khaldun di atas cukup beralasan, sebab jika dikaitkan dengan bisnis fotografi musiman, maka jika harga yang ditawarkan terlalu sedikit akan merugikan pihak fotografer, karena terkait dengan biaya operasional dan tenaga yang telah dikeluarkan. Disisi lain, jika harga dinaikkan terlalu tinggi, maka minat beli konsumen menjadi menurun. Oleh karena itu, menjembatani hal tersebut, Devilla Foto biasanya menggunakan sistem "elastisitas harga",[17] artinya menggunakan batas minimal dan maksimal, tergantung dari mekanisme tawar menawar dan kondisi sebagaimana yang sudah dijelaskan pada pembahasan sebelumnya.
Disamping itu, implikasi yang justru mengandung nilai positif dari pengambilan keuntungan terhadap bisnis fotografi musiman ini adalah untuk menjaga stabilitas ekonomi para pelaku bisnis fotografi musiman, juga membantu kelangsungan kesejahteraan karyawan. Dalam hal ini juga ikut membantu pemerintah dalam membuka lapangan kerja baru, juga dalam pemberdayaan usaha kecil menengah. khususnya di dunia fotografi Namun kalau dilihat dari biaya operasional yang dikeluarkan oleh Devilla Foto maka cukup wajar untuk pengambilankeuntungan seperti diatas.
Berkaitan dengan hal ini, al-Gazali berpendapat bahwa keuntungan adalah kompensasi dari "kepayahan", resiko bisnis, dan ancaman keselamatan diri si pedagang. Walaupun ia tidak setuju dengan keuntungan yang berlebih untuk menjadi motivasi pedagang. Namun, keuntunganlah yang menjadi motivasi pedagang.[18] Maka cukup beralasan jika pengambilan keuntungan yang dilakukan oleh Devilla Foto sesuai standar yang berlaku, khususnya di wilayah bisnis fotografi musiman.
[1] Al-Baqarah (2) : 168
[2] M. Hasbi Ash Shiddieqy, Pengantar Fiqh Muamalah (Semarang: PT. Pustaka Rizki Putra, 2001), hlm. 30

[3] Hud (11) : 84

[4] M. Dawam Raharjo, Ensiklopedi Al-Quran, (Jakarta, Paramadina, 2002) Hlm. 388.

[5] Ibid. hlm.388

[6] Abu Yusuf, kitab al-kharaj, Sebagaimana dikutib oleh Adiwarman A.Karim, Ekonomi islam suatu kajian kajiankontemporer ( Jakarta: Gema Insani Press 2001), hlm 155

[7] Al-Ghazali, Mukhtashar Ihya’ Ulumudin, Terjemah oleh Irwan Kurniawan, Mutiara Ihya’ Ulumudin (Jakarta: Mizan, 2004) hlm.141

[8] Al-Ghazali, Ihya Ulumuddin, dalam Adiwarman A.Karim, Ekonomi islam, hlm 158

[9] Ibid. hlm. 158
[10] Adiwarman A. Karim.....,hlm. 160-164

[11] Ibid. hlm. 161
[12] Al-Ghazali, Ihya Ulumuddin (Beirut: Muassasah al-Kutub al-Tsaqafiyyah, 1990), III: 227
[13] Adiwarman A. Karim......, hlm. 162

[14] Ibid. hlm 161
[15] Ibid. hlm 163
[16] Ibid. hlm. 165

[17] "Elastisitas harga", merupakan konsep penentuan harga yang didasarkan pada batas minimal dan maksimal, yang dipengaruhi oleh kondisi tertentu untuk meningkatkan volume penjualan. Penentuan ini didasarkan pada pertimbangan moment (event), segmen pasar, dan kelangsungan usaha yang dijalankan. Sehingga sifatnya menyesuaikan (elastis).
[18] Al-Ghazali, Mukhtashar Ihya’ Ulumudin, Terjemah oleh Irwan Kurniawan, Mutiara Ihya’ Ulumuddin (Jakarta, Mizan, 2004), hlm. 140

Tidak ada komentar: